Sembunyi-Sembunyi Jadi Penyiar Radio

Swadesta Aria Wasesa

Image by Tiger Simon/Corbis

Waktu SMA, sanguku tidak sebanyak teman-teman lainnya. Selama satu bulan diberi uang saku sebesar Rp50 ribu. Sebenarnya ada niat baik dari orang tua memberi uang saku yang tahun 2000an itu tergolong sedikit bagi anak SMA. Mereka mau aku belajar mengelola pengeluaran selama satu bulan. Tapi tetap saja tidak cukup karena aku punya banyak kegiatan dan waktu itu sudah mulai merokok. Uang segitu tidak akan cukup untuk patungan bayar studio latihan band selama satu bulan, beli rokok, atau bensin tiap hari.

Aku cukup beruntung karena di kantin sekolah enggak pernah bayar, hehehe bukan maling lho. Alm. Ibu Djafar, penjual kantin itu kan temannya bapak jadi enggak dibolehin bayar sama beliau. Di sana aku boleh makan dan merokok sepuasnya. Alm.Ibu Djafar juga bisa diajak kompak, enggak kasih tahu Bapak kalau aku dan kawan-kawan sering merokok dan bolos di kantin itu hehehehe.

Tapi uang segitu tetap tidak cukup. Kadang aku bohong biar dapat uang lebih dari orang tua. Misalnya, minta uang untuk servis motor tapi pas di bengkel cuma ganti oli.

Lama-lama bohong itu enggak enak. Kebohongan ditutupi dengan kebohongan lainnya. Pernah suatu kali motor rusak padahal baru beberapa hari setelah minta uang servis. Bingung aku cari jawaban pas ditanya ibu nanti di rumah soal kerusakan motor. Kalau sampai ketahuan bohong, bah, tendangan kungfu bapak pasti mendarat di pantatku. Syukurlah ada teman yang kasih aku uang ke bengkel. Namanya Firman Multazam Azmi alias Amin. Dia enggak mau uangnya diganti. Katanya agar aku bisa nongkrong terus sama mereka motornya harus diperbaiki.

Kelas 2 SMA, aku mulai cari kerja biar menambah uang saku. Sempat minta izin ke orang tua tapi tidak boleh. Mereka mau aku belajar saja karena sebentar lagi kelas tiga dan aku harus masuk IPA. Kata bapak waktu itu, jurusan IPA mudah masuk ke perguruan tinggi, bebas memilih apa saja jadinya aku harus fokus belajar.

Aku orang yang keras kepala, sama seperti bapak. Kata Bulek Lia, adiknya bapak, keras kepala dalam keluarga kami itu genetik. Alm.Mbah Djiyoto, bapaknya bapak juga punya sifat keras kepala juga.

Jadi wajar apabila penolakan orang tua itu tidak bisa mengubah niat mencari kerja tambahan. Kebetulan juga saat itu radio Borneo FM Banjarbaru buka lowongan penyiar. Aku nekat ke kantor Borneo FM dengan persyaratan lengkap seperti ijazah terakhir dan tulisan soal musik. Kalau tidak salah Tukang Kebun menulis soal Funky Kopral di era Bondan Prakoso. Pelamarnya banyak sekali, ada ratusan dan dites oleh penyiar paling senior bernama Pepen satu per satu. Dari ratusan disaring jadi 10 penyiar lalu diambil dua. Eh aku lolos dua besar. Kata Pepen berkat gaya slengean waktu dites jadi penyiar program baru tentang gaya anak sekolahan.

Besoknya aku langsung disuruh siaran bareng Pepen. Acaranya Tisam alias titip salam melalui kertas atensi dan telepon. Satu bulan kemudian aku jadi penyiar tetap. Siaran tiga kali satu minggu tiap sore di program sekolah, Tisam, dan curhat. Bagiku program curhat itu berat, kudu dengar masalah-masalah orang lain lalu diminta kasih solusi. Pernah ada yang curhat soal masalah pernikahan terus aku balas bahwa jawabannya ada di lagu Saras Dewi yang “Lembayung Dewi”. Dengar jawaban itu para penyiar lain ngakak di luar studio.

Orang tua enggak tahu kalau aku jadi penyiar. Aku juga enggak ngomong. Tiap sore aku hanya pamitan main ke rumah Agus, Amin, atau Ucok. Mereka percaya saja. Tapi mereka sempat heran kenapa aku tidak pernah lagi minta uang tambahan atau minta dibelikan buku lagi. Pernah suatu kali disuruh siaran malam hari menggantikan penyiar yang sakit, aku bingung mencari alasan ke luar rumah. Akhirnya aku main drama. Aku SMS Ucok agar dia mau kirim teks ke HP bapak, seolah-olah aku tidak bisa dihubungi. Isinya minta aku mengajarinya matematika. Ide itu sukses, bapak bilang aku dicari Ucok untuk mengajarinya matematika. Aku boleh keluar rumah malam hari. Ah senangnya, tipu daya yang brilian hehehehe

Serapat-rapatnya aku menyimpan rahasia pasti ketahuan juga sama bapak. Begitu juga soal kerjaanku. Waktu itu bulan puasa. Tiap penyiar dapat jatah siaran menemani sahur. Programnya titip salam subuh dan memutar lagu-lagu yang tengah hits kala itu. Aku pun dapat giliran, tiga kali dalam satu minggu. Alasanku keluar rumah adalah membantu masjid sama teman-teman menyiapkan sahur untuk orang-orang. Di pekan kedua puasa aku ketahuan siaran sama bapak.

“Halo, Mas penyiar,” suara di telepon membuka percakapan.
“Halo Borneo 103,9 FM Banjarbaru. Dengan siapa di mana nih?” jawabku.
“Sama Eksan di Balitan Mas. Mau titip salam buat anak yang sedang di masjid nih sekaligus request lagu,”

Aku langsung keringatan. Ternyata bapak yang telepon, mana langsung pula siarannya. Sempat terbayang bagaimana tendangan bapak mendarat di pantatku lalu omelan Ibu bakal terkancing di hatiku.

“Oh iya Mas, eh, Pak, lagu apa nih?,” tanyaku.
“Doel Sumbang ‘Kalau Bulan Bisa Ngomong’ atau Ratu ‘Buaya Darat’, makasih ya Mas. Salam buat takmir masjid,”

Keringatku tambah deras berkat frasa “takmir masjid” yang dibilang bapak di telepon. Pulang siaran aku takut sekali. Sepanjang jalan menuju rumah aku berupaya keras mencari alasan kenapa berbohong sambil menyiapkan pantatku menerima tendangan. Subuh tidak lagi dingin saat itu. Pas sampai rumah, Ibu membuka pagar lalu memasang wajah sangar sekali. Setelah memasukan motor ke ruang samping rumah, aku mengitung satu sampai sepuluh, bertaruh, angka ke berapa mereka bakal mengomel.

“DEEEES!,” bapak memanggil dari kamar saat hitunganku ke angka sepuluh. Aku bergegas ke kamarnya.
“Siaranmu wagu (aneh). Lagu kok menye. Lagu yang diputar itu harusnya Doel Sumbang, Iwan Fals, Deep Purple, Led Zeppelin. Siaran kok aa ee aa ee,” kata bapak.
“Sudah sana seterika baju, jam tujuh sekolah,” perintah ibu.

Entah kenapa lega sekali rasanya. Ketakutanku hilang. Orang tua punya cara sendiri untuk protes atau menyampaikan pendapat ke anak-anak mereka. Tidak ada pembicaraan lagi soal siaran. Aku juga jadi terbuka dengan mereka, cerita maksudku bekerja. Ternyata bekerja yang aku maksud dalam benak mereka seperti menjaga warnet atau ikut Om Djito (guru ngajiku) kuli bangunan. Mereka akhirnya mendukung tapi aku harus berhenti siaran saat kelas tiga.

Tukang Kebun



Genre:

Tema: