Akal Bulus Pak Tonggo

Rita Melda

Beberapa waktu yang lalu, ketenangan Nyalanya diusik para gerombolan penyuka bola. Mereka tiga sekawan bertampang pas-pasan yang berlagak seleb. Sebut saja mereka  Pak Tonggo, Pak Teguh, dan Pak Wiwin. 

Perdebatan mereka ditambah saling menyombongkan klub kesayangan masing-masing cukup menghibur pembaca setia Nyalanya.com terutama saya. Saya tak pernah berpikir ikut-ikutan dalam perdebatan yang temanya tak saya pahami. Hingga pada suatu malam ketenangan saya diusik oleh salah satu anggota gerombolan tersebut. Dia adalah Pak Tonggo.

Pria berwajah khas Sumatera Utara beristri satu dan beranak dua ini menulis tentang kebahagiaan bapak-bapak guru Tenera yang tahun ini bebas dari drama Hari Ulang Tahun (HUT) Republik Indonesia (RI) yang selalu kami tampilkan pada upacara kemerdekaan (Baca: Tahun Ini Mereka Bebas dari Bu Rita Melda)

Menjadi sutradara sekaligus penulis  bukan pekara mudah. Saya harus begadang setiap malam agar naskah kami keren plus sesuai standar seorang produser super galak-siapa lagi kalau bukan ibu Opi, Si empunya Tenera. Naskah wajib diobok, diaduk, digoyang sampai mendapatkan lampu hijau, “okey ibu Rita, silahkan latihan” 

Saat itulah kekacauan datang.

Biasanya Pak Tonggo dan Pak Teguh langsung kami tunjuk duet dalam agar drama menjadi suguhan yang spektakuler. Meskipun kami hanya tampil di lapangan tapi akting para pemain mengalahkan aktor kawakan Barry Prima. 

Menentukan para pemain menjadi pekerjaan yang susah-susah gampang. Kami harus mencocokan karakter dengan aura wajah para pemain.  Seperti Pak Wiwin karena punya tampang playboy yang songong dia langganaan menjadi kompeni (dia sedih karena tahun ini tidak ada pemain yang ia tendang lalu tembak di lapangan). 

Pak Anggi lain lagi. Ketika bergabung di drama statusnya adalah guru baru,  karena pejuang adalah peran yang dihindari, kami memanfaatkan status Pak Anggi agar memerankan tokoh pesakitan: ditendang, ditembak, dianiaya hingga membuat keperkasaannya tercabik. 

Kesalahan memilih pemain juga pernah terjadi saat kami kekurangan tokoh pahlawan. Pak Teguh menawarkan diri. Mulanya sempat ragu Pak Teguh mampu memerankan sosok teraniaya sementara wajah bengis dan kocaknya tak bisa dipoles makeup dan kostum tapi karena kurang orang apa boleh buat. Di sanalah kesalahan besar itu. Kekhawatiran saya mewujud, di hari pementasan suasana haru dan memilukan yang saya bayangkan ambyar. Adegan Pak Teguh berguling-guling yang seharusnya menarik empati penonton gagal total adegan itu malah mirip komedi. 

Karena sadar kemampuan aktingnya yang rendah, bapak Tonggo selalu kebagian mengatur musik latar agar mudah membawa imajinasi penonton. Seringkali karena kurangnya pemain saya merayu Pak Tonggo agar ikut berakting tapi selalu saja ditolak dengan berbagai alasan.  Ribuan alasan dia keluarkan lalu seolah-olah membuat pekerjaannya terlihat rumit. 

Di hari pementasan Pak Tonggo terlihat sibuk mengatur musik. Sesekali dia terlihat panik, entah apa yang ada dalam pikirannya. Tapi saya pastikan dari belakang tumpukan pengeras suara dia tertawa geli, puas melihat para teman seperjuangannya babak belur di lapangan. Luar biasa akal bulus Pak Tonggo ini.

Usai menutup tulisan balasan ini saya semakin yakin menjadikan Pak Tonggo sebagai pemain dalam drama HUT RI tahun depan. Tidak boleh ada penolakan karena sejatinya guru Tenera adalah pembelajar seumur hidup.



Genre: Nonfiksi

Tema: sekolah