Santi Lastri
Malam ini kenangan masa kecil terlintas di pikiranku. Masa- masa SD dulu bersama adik dan teman- temanku. Entah kenapa kok bisa teringat tentang peristiwa lucu itu. Ketika itu, Aku, Adikku, dan empat teman sekampung sedang mencari kayu bakar di kebun karet. Kegiatan mencari kayu rutin kami lakukan di saat libur sekolah.
Pagi itu kami berangkat pagi-pagi dengan harapan mendapat banyak kayu bakar. Dengan mengayuh sepeda, kami menuju kebun karet yang berjarak 25 km dari kampung. Sambil bernyanyi kami kayuh sepeda dengan harapan banyak ranting kayu yang akan kami temui disana.
Sesampainya di kebun karet, seperti biasa kami menyembunyikan sepeda. Sepeda dirobohkan lalu ditutup rumput maupun ranting kayu. Kami pun mulai beraksi mencari ranting- ranting kering yang berjatuhan. Kami berpencar. Ada yang ke arah utara, selatan, timur dan barat.
Kami akan mengumpulkan ranting kayu yang lurus supaya mudah dibawa. Sembari mencari ranting kayu, kami harus ekstra hati- hati dan konsentrasi mendengar kalau-kalau ada suara motor lewat. Jika terdengar suara motor, kami spontan tiarap dan melemparkan parang kami ke semak- semak. Suara motor itu pertanda Pak Centeng sedang lewat. Kalau ketahuan bisa jadi parang kami lenyap dan ban sepeda dikempesin.
Pak Centeng sebenarnya tidak marah jika kami hanya mengambil ranting kayu yang sudah kering. Namun terkadang kami nakal, jika tidak ada dahan atau ranting kering yang lurus-lurus, maka kami akan memotong dahan pohon karet yang masih segar agar getahnya tidak menetes terus. Dahan yang kami potong akan kami tancapkan ke lumpur atau comberan yang ada disekitar kami. Nah, ini yang membuat dia marah.
Sudah satu jam kami berkeliling namun tidak menemukan dahan atau ranting kering. Daripada pulang tanpa bawa kayu bakar, kami sepakat memotong dahan yang masih segar. Sebenarnya selain berbahaya membawa dahan segar pulang juga susah karena berat. Namun itu tidak mengurungkan niat kami memotong dahan segar. Aku dan teman- teman segera beraksi, entah mendapat keberanian dari mana, kami memotong dahan secepat mungkin tanpa memikirkan getah yang mengucur dari kayu yang kami potong. Setelah merasa cukup, kami kumpulkan kayu- kayu tersebut.
Tiba- tiba suara motor Pak Centeng terdengar. Kami langsung lari ke parit-parit kebun karet. Tidak lupa parang langsung kami lemparkan. Jantung berdegup begitu kencang dan keringat mengucur deras. Kami berharap centeng tidak melihat kami. Setelah suara motor tidak terdengar lagi kami senang lalu merobohkan tubuh di rerumputan.
“AMAAAAN..”
Kami kembali mencari parang dan mengumpulkan kayu kami. Tapi, getah kayu mengucur terus. Bagaimana ini, pasti kelihatan nanti saat melewati pos Satpam.Kami kembali kebingungan.
“Ting…. Aku ada ide,” kata Doktor, temanku yang paling banyak akal seolah bola lampu menyala terang berada di atas kepalanya.
“Kita rendam aja kayunya ke sungai itu, nanti getahnya pasti berhenti. Kit apun bisa mandi-mandi,”kata Doktor dengan penuh keyakinan.
Iya betul.. Kata Marta.
Ayo kita bawa kayu kita, sahut Tiur.
Kami pun membawa kayu kami ke sungai. Menuruni tebing sungai sambil membawa kayu bakar itu membuat kami capek sekali. Tapi setelah berendam di air, rasa lelah seketika hilang. Doktor langsung berenang ke tengah sugai diikuti teman yang lain. Aku dan adikku dan Marta hanya berendam dipinggir sambil bermain siram-siraman. Ternya mandi disunga itu seru.
Setelah setengah jam bermain air, kami pun mengikat kayu bakar kami di sepeda. Kami pulang dengan badan basah kuyup, perut lapar namun hati senang karena tidak tertangkap Pak Centeng.
Selama mencari kayu bakar saat masih anak-anak, kami belum pernah ditangkap. Namun anak-anak sebelah kampung kami pernah cerita bahwa ada yang tertangkap. Mendengar kata Centeng waktu kecil, yang terbesit di pikiranku adalah sosok laki-laki sangar dengan kumis tebal dan badan besar. Menyeramkan.
Santi Lastri
Pengurus Yayasan Tenera
Genre:
Tema: