Anik Febriyanti
Bersenang-senang dahulu, bersakit-sakit kemudian, mungkin itulah kalimat yang pas menggambarkan perjalanan hidupku. Tulisan ini merupakan cerita awal dari tulisan ku sebelumnya yang dimuat Nyalanya dengan judul Menyesal Mengatai Ibuku Jahat. Yaaah..aku memang sangat menyesal.
Keluarga kami tidak kaya hanya saja orang tuaku tidak menginginkan anaknya kekurangan seperti yang mereka rasakan dulu. Dari masa sekolah kami hidup berkecukupan. Pertama kali menginjak kota Bengkulu tahun 2009 aku sudah diberikan kendaraan roda dua. Aku tidak pernah merasakan naik angkutan umum, bahkan sampai sekarang karena idak berani naik kendaraan umum sendiri.
Pada ceritaku yang lain, kebanyakan anak-anak sekolah atau kuliah menyambi mencari tambahan uang jajan dengan bekerja, jualan keripik misalnya seperti teman kos. Tapi tidak denganku, aku dilarang bekerja oleh orang tua karena mereka merasa masih sanggup mengirimkan uang mencukupi kebutuhanku. Alhasil aku hanya tahu sekolah dan kuliah, kiriman bulananku sangat cukup untuk makan, jajan, dan jalan-jalan.
Apa yang terjadi setelah aku lulus kuliah, bekerja lalu menikah sudah aku ceritakan di tulisanku sebelumnya. Bagaimana repotnya aku yang tidak bisa memasak, tidak pernah benar-benar hidup mandiri. Hidupku saat sekolah dan kuliah serba mudah. Ketika mau makan ya beli di warung, ingin beli ini itu, pergi ke sana sini dengan uang orang tua ya tinggal gesek. Bahkan terkadang uang jatah bulanan belum waktunya habis eh sudah habis duluan,
Hal itulah yang membuatku menjadi anak manja dan sekarang hanya penyesalan yang aku rasakan.
Mungkin akulah guru yang mengatakan “Jangan seperti ibu” di saat guru yang lain menginspirasi, aku hanya bisa memberikan contoh kehidupan yang ku alami dan pesanku kepada mereka siswa sisiwiku agar belajar hidup mandiri, kreatif dan bertanggung jawab.
Kebutuhan yang tercukupi bukan alasan kita untuk hidup enak dan akhirnya terlena karena ketika kita dituntut untuk hidup mandiri kita harus bisa melakukan banyak hal sendiri dan harus dimulai sejak dini. Ketika anak rantau lain menikah sudah pada jago masak untuk suami dan anaknya, aku sampai sekarang hanya bisa masak sambal yang terkadang aku sendiri tidak selera untuk menyantapnya.
Genre: Nonfiksi
Tema: Keluarga