Putri Maretta Gultom
Putra adalah seorang bocah lugu, sopan, dan juga baik. Sejak kecil dia selalu melihat kedua orang tuanya bertengkar dan itu terjadi hampir setiap hari. Saat Putra kelas 1 SD orang tuanya merantau ke luar kota karena keadaan ekonomi di kampung tak kunjung membaik. Putra tinggal bersama nenek saat ayah dan ibunya pergi merantau.
Sejak saat itu Putra selalu merasa sedih sekaligus rindu kepada orang tuanya, untungnya nenek selalu menenangkannya. Neneknya adalah sosok yang sangat baik dan peduli akan keadaan cucunya itu.
Suatu saat, untuk pertama kalinya, orang tua Putra kembali ke kampung setelah dua tahun merantau. Putra sangat senang melihat ayah dan ibu yang sangat ia cintai. Pertemuan itu sangat mengharukan, Putra sangat dimanjakan ayah dan ibu. Semua permintaannya dituruti. Kebahagiaan itu hanya berlangsung beberapa hari karena orang tuanya harus kembali merantau karena masa libur sudah habis.
Empat tahun kemudian Putra diajak melanjutkan sekolah di kota tempat orang tuanya bekerja. Awalnya Putra ragu karena tidak tega meninggalkan neneknya sendirian di kampung, namun sang nenek meyakinkan Putra agar ikut orang tuanya.
Kini Putra tinggal dengan kedua orang tuanya. Awalnya baik-baik saja hingga akhirnya dia kembali menyaksikan pemandangan yang kerap ia lihat saat masih SD. Ayah dan ibunya masih sering bertengkar hebat. Tiap kali bertengkar maka Putra yang jadi pelampiasan amarah dari sang ibu. Dia dibentak dan dimaki.
“Dasar anak tidak tahu malu, orang tua berantem tapi kamu masih sanggup tertawa di luar sana,” begitulah kata ibunya padahal tertawa adalah cara Putra menyembunyikan masalah keluarga dari teman-temannya.
Tiga tahun berlalu. Putra sudah duduk di bangku SMA. Tapi hari harinya selalu dilewati dengan kesedihan yang sama. Suatu ketika kedua orang tuanya bertengkar sangat hebat dan sang ibu memutuskan pergi meninggalkan mereka berdua. Sejak saat itu sang ayah sangat stres. Kerja berantakkan karena melarikan diri ke minuman keras. Hutang pun menumpuk.
Akibat hutang yang terlalu banyak ayahnya kabur meninggalkan Putra sendiri untuk menghindari para penagih hutang. Putra, dengan sisa-sisa kekuatannya menghadapi banyak penagih yang tiap hari menyambanginya lalu mengambil barang-barang di rumah sebagai jaminan. Hanya tersisa pakaian dan telepon genggam yang bisa digunakan Putra untuk menghubungi ayah ibunya.
Putra juga punya masalah lain. Uang sekolahnya sudah menumpuk karena setelah ditinggal pergi ayah dan ibu, uang yang ada hanya cukup untuk makan. Putra sangat bingung sehingga menghubungi ayah serta ibunya mencari jalan keluar, Namun orang tuanya saling melempar kesalahan.
Putra sangat sedih, ia sempat berpikir mengakhiri hidup. Ketika pisau hanya berjarak sekian milimeter dari nadinya, ibu Putra menelepon. Sang ibu mengatakan bahwa dia akan menanggung semua biaya sekolah dan semua hidup putra. Tuhan menyelamatkan Putra lalu memberi semangat baru untuknya.
Rumah sudah disita dan Putra harus tinggal di kos kecil berukuran 4×4. Tapi dia tidak menyerah. Setiap hari dia bekerja usai sekolah untuk menambal kebutuhan lain. Di sepertiga malam dia tak pernah berhenti berdoa agar orang tuanya kembali dipertemukan lalu kembali saling mencintai.
Tepat di hari ulang tahun Putra, sang ibu melakukan panggilan video. Betapa terkejutnya dia karena melihat ayahnya ada di samping ibunya. Mereka bersatu kembali dan momen itu adalah kado terbaik bagi Putra.
Genre: Fiksi
Tema: Keluarga