Buku yang Menampung Tawa dan Air Mata

Apriyanti

Dok.Wikihow

Tidak semua orang mau mendengar keluh kesahku. Kenyataan itu mendorongku mencari medium memuntahkan setiap pahit yang aku telan.

Aku membeli buku diary tebal dengan kertas warna-warni. Di halaman pertama aku tulis “Telinga Buku Harianku” dengan huruf tegak bersambung. Inilah buku yang memenuhi harapanku, menjadi telinga yang akan mendengar cerita suka dan duka. 

Suatu malam  aku mulai  menulis kejadian lucu saat hendak mengajar di kelas. Kedatanganku disambut senyum lebar tiga murid. Mereka memasang wajah ceria yang membuatku curiga karena tidak biasanya seperti itu. Aku dekati mereka lalu bertanya perihal keceriaan mencurigakan itu.

“Ibu cantik hari ini. Rambutnya keren, bajunya keren, tapi ya, masih ada yang kurang,” jawab Falco, muridku.

“Ha? Kamu ini memuji atau mengejek Ibu?”

“Nggak kok Bu. Maaf ya Bu, jangan marah. Itu celana panjang ibu kayaknya terbalik, biasanya kantong celana di depan, kok ibu pakek celana kantongnya di belakang? Hahahahaha,” jawabnya lalu mereka serempak tertawa.

Aku melotot. Mereka ketakutan lalu berulang kali minta maaf. Namun, aku tidak merespon mereka lalu lari ke toilet.  Setelah rapi pakaianku, aku kembali ke kelas.

Tiga murid yang menertawakanku tadi duduk bersila dengan mengatupkan dua telapak tangan di atas kepala, persis seperti kasim-kasim yang meminta ampun pada kaisar. Mereka memasang wajah cemas, was-was, sekaligus gentar lalu serempak meminta maaf. Nah, gantian aku yang menertawakan mereka.

Yona, salah satu murid mendatangi kami. Ia memberi seikat bunga dan tiga batang cokelat. Aku terkejut, ternyata mereka sengaja menyiapkan kejutan kecil untukku, minus celana panjang terbalik tadi tentunya. Tiga batang cokelat itu kami bagi rata seisi kelas usai belajar.

Aku ceritakan kejadian itu ke suamiku tapi tidak direspon. Jangankan tertawa, tersenyum pun tidak. Ah, dingin sekali.  Aku mengambil buku harian, menuliskannya dengan gembira, rasanya kertas warna-warni itu tersenyum mendengar ceritaku. Keesokan harinya, aku dapat kabar ibu sakit. Aku galau, ingin lari sekencangnya menemui ibu di Palembang.

Namun saat itu yang bisa aku lakukan hanya berdoa, minta Tuhan menyembuhkannya. Doaku dijawab Tuhan dengan cepat. Ibuku sudah mulai pulih setelah mendapat terapi dokter. Batinku berkata, sehat selalu ya Mama, sambil aku tuliskan kisah itu dan tanpa sengaja air mata menetes.  Dan ternyata buku harian juga mampu menampung air mataku.



Genre: Nonfiksi

Tema: Buku