Dalam Penjara Kecilku

Alfanny DFS

instagram.com/ana_oncina

Sebagai satu di antara ratusan juta penduduk Indonesia saya punya 1001 kisah yang ingin saya bagi di tengah pandemi ini. Namun, karena minimnya pengalaman mengelola kata, hanya satu yang bisa saya ceritakan. Tentu saja tentang proses adaptasi saya selama pandemi ini. Di luar cerita ini saya masih bersyukur karena masih hidup. Masih bernapas meski tersengal. 

Dampak pandemi ini sangat buruk. Entah berapa lama saya galau karena seruan untuk di rumah saja selama Covid belum angkat kaki dari dunia.  Dunia yang luas ini mengecil dalam kepala saya. Segala sesuatu menjadi terbatas. 

Entah berapa jumlah radiasi yang masuk ke mata karena selama di rumah mata hanya fokus kepada layar ponsel atau laptop di meja belajar ditemani suara dosen dari speaker laptop. Kamar kecil ini sudah serupa penjara kecil bagiku.

Selama satu tahun lebih aku masih mencoba beradaptasi dengan pandemi sambil terus minum obat dari dokter. Kita diimbau memakai masker. Namun buatku masker itu membungkam mulutku untuk bicara apa saja. Iklan penggunaan masker, jaga jarak, selalu cuci tangan, dan banyak lagi, untuk melawan si virus tersebar di mana-mana. Bahkan notif telkomsel kalah dengan imbauan Prokes ini. 

Tapi mau bagaimana lagi, situasi memaksaku harus lapang dada. Cukup sulit, karena saya baru saja menapaki pintu keluar usia remaja. Ingin rasanya bertemu lalu membujuk si virus untuk pergi dan jauh dari bumi agar orang-orang tak lagi hidup dalam persembunyian dari penjajah yang kasat mata ini.

Dan selama di persembunyian, sudahkah kita menghitung berapa pengeluaran yang terjadi selama satu tahun lebih ini? Berapa banyak orang-orang yang kehilangan pekerjaan? Semoga pemimpin negara, pejabat, Tenaga Kesehatan (Nakes), dan masyarakat bisa terhindar dari virus ini. Cukuplah penderitaan ini.  Tetap jaga kesehatan, dan selalu patuhi prokes. Jangan begadang, kesehatanmu lebih penting daripada notif hp yang ditunggu tapi tak kunjung datang.



Genre: Nonfiksi

Tema: Covid-19