Martua Manurung
Masa kecilku aneh sekaligus suram. Sejak kelas 1 SD saya selalu takut belajar. Rasa takut muncul karena terkejut dengan materi ajar dan guru yang tidak hangat. Rasa takut itu menjalar sampai ke rumah.Saya seperti dipenjara. Saya juga tidak suka disuruh ke sawah saat tidak belajar, seperti kerja paksa.
Saya tidak pernah mendapatkan uang jajan dan tidak pernah dibuatkan sarapan, orang tua jarang bangun pagi hari karena sudah lelah bekerja di sawah. Saya tertekan dan ingin sekali keluar rumah.
Saya memberanikan diri keluar dari rumah karena sudah muak dengan keadaan. Waktu itu saya duduk di kelas satu SMP. Saya pergi kerumah Pak Tua saya yang sedikit agak kaya Setelah tinggal di rumahnya, Pak Tua memberi tugas ngarit setiap pulang sekolah untuk lembunya. Saya diberi uang jajan Rp2 ribu, per hari. Bahagia rasanya seperti lepas dari beban. Semangat belajar saya juga jadi menggebu-gebu. Setelah tiga tahun tinggal di rumah Pak Tua saya melanjutkan sekolah di sebuah SMA di kota.
Saya hanya menghabiskan waktu dua tahun di kota. Di tahun terakhir SMA saya kembali ke rumah orang tua sampai lulus. Setelah lulus SMA, entah bagaimana saya tidak pernah berencana kuliah karena sudah bosan belajar. Di tengah kemalasan, eurekaaaa, tiba-tiba muncul keinginan kuliah, tetapi orang tua tidak mengizinkan karena mereka tahunya saya tidak pernah belajar.
Ke luar dari rumah kembali jadi solusi. Sehingga saya memutuskan pergi bekerja selama satu tahun di negeri orang. Saya bosan karena pekerjaannya sangat berat. Saya tidak sanggup lagi, lalu memutuskan pulang dan berencana untuk kuliah. Tiba di kampung, orang tua saya menolak rencana kuliah dengan alasan keterbatasan biaya.
Saya nekat kuliah dengan biaya sendiri. Selama di kota saya mencari tempat bekerja untuk meringankan biaya kuliah saya. Semester 1 saya tinggal di rumah tukang semangka. Mereka menyediakan saya tempat tinggal, makan dan uang jajan. Saya sungguh menderita di sana karena pekerjaannya berat; bongkar muat semangka, mulai pada pagi hari, siang saya kuliah, pulang kuliah langsung ikut bekerja hingga malam hari bahkan pernah sampai subuh. Punggung saya seperti menahan beban berat sehingga tidak ada pilihan selain pergi dari rumah itu.
Lalu saya mencari tempat kos untuk sementara lalu tinggal di sana selama dua semester. Terpaksa saya meminta bantuan orang tua walau mereka keberatan. Otak saya berputar agar segera mencari pekerjaan. Saya melamar sana-sini tapi semua menolak, tidak ada satupun orang yang bermurah hati. Ibu kota lebih kejam dari Ibu Tiri.
Saya melakukan apa saja untuk bertahan hidup. Kadang kerja bangunan yang jauh dari tempat kos, sehingga terkadang tidak masuk kuliah. Awal semester lima, teman kuliah meminta saya menjadi operator suatu warnet. Saya menerima tawaran itu dengan bahagia. Pemilik warnetnya sangat galak dan sudah tua. Entah kenapa, perempuan tua kaya itu menyukai saya.
Dari warnet itu gelombang rezeki datang hingga akhirnya saya bisa membayar yang kuliah hingga wisuda. Pemilik warnet meminta saya untuk tetap bekerja di sana. Tapi saya mau berkembang. lalu memutuskan pulang kampung dan mencari lowongan kerja sesuai dengan profesi ijazah saya. Dan saya pun menjadi guru sekarang berkat warnet tersebut.
Genre: Nonfiksi
Tema: Memori