Dijauhi Nasib Baik Sejak SD

Betty Marpaung

Dok https://i.pinimg.com/originals/f5/1a/ce/f51ace56927b5d191d217e03b96ef935.jpg

Ingat masa sekolah dulu beda banget dengan anak sekarang. Dulu uang jajan dari orang tua hanya lima ratus rupiah setiap minggu. Harus pintar membelanjakan uang yang tidak seberapa itu. 

Sebenarnya aku mau beli lontong, mie ayam, mie sup dan masih banyak jajanan lain di kantin sekolah. Tapi uang saku hanya cukup beli gorengan yang sebjinya masih dua puluh lima rupiah waktu itu. Mau beli yang lain mikir 100 kali. Kalau aku beli habislah uang jajanku dan lima hari kedepan harus puasa.

Nasibku saat kuliah juga tidak jauh berbeda. Namanya anak kos, jauh dari orang tua, harus lebih pintar mengatur uang. Aku diberi uang bulanan sebesar Rp250 ribu. Itulah yang harus aku kelola untuk mencukupi semua kebutuhanku. Harus pintar-pintar memilih mana yang benar-benar harus dibeli. Salah sedikit bisa meleset nasi dari mulut. 

Zaman kuliah belum secanggih sekarang. Belum ada teknologi untuk mentransfer uang di ATM. Belum ada handphone. Kalau kangen sama mama atau butuh dana mendadak tidak bisa langsung telepon. Untuk pulang kampung saja hanya dua kali setahun, saat Natal dan akhir semester dua.  

Setelah bekerja dan berkeluarga, nasibku belum berubah juga. Memang sih,  sekarang aku mampu beli semua makanan dan barang yang dulu tak terbeli. Namun aku tetap tidak bisa melahap semua  makanan kesukaanku dengan bebas karena tubuhku tak  sekuat dulu lagi. Sekarang tubuhku sudah dsinggahi asam urat dan kolesterol sehingga harus hati-hati mengonsumsi makanan. Sama saja ya ternyata nasibku.



Genre: Nonfiksi

Tema: Memori