Anggi Saputra
Sore itu cuaca tidak terlalu cerah dan tidak juga mendung, hari yang baik untuk memancing. Biasanya cuaca seperti ini ikannya sedang ganas dan tak pandang umpan. Setelah pulang sekolah saya langsung menyiapkan piranti memancing, mulai dari katrol, tali, dan yang sangat penting adalah lure (umpan mainan) karena saya menggunakan teknik casting.
Ketika keluar dari rumah saya melihat Pak Maryono sedang membuka paket dari kurir,
“Paket apa itu pak?” tanya saya
“Pancing,” sahutnya.
Mendengar kata pancing saya penasaran dengan model yang dipesan Pak Maryono. Saya pun langsung nimbrung saat Pak Mar membuka isi paket. Eh, dia membeli piranti memancing lengkap satu set. Ada katrol, tali, mata pancing lengkap dengan pelampung.
Pak Maryono menanyakan tentang umpan. Saya buka tas pancing lalu memperlihatkan umpan kebanggan saya itu. Tak selang lama saya pamitan karena sudah tak sabar bertemu ikan-ikan ganas.
Spot yang saya tuju sore itu berada di Afdeling 2. Walaupun dekat rumah rutenya lumayan menguras tenaga karena tidak bisa dilewati motor. Sepeda motor harus diparkir dua kilometer dari tempat tujuan dan rute dilanjutkan dengan jalan kaki.
Areanya lumayan ekstrim karena habis diguyur hujan deras. Tebing menjadi sangat licin dan curam bahkan saya sempat terpeleset tapi tidak apa-apa. Setelah berjuang sekuat tenaga akhirnya sampai di tempat yang dituju.
Setelah semua piranti disiapkan tinggal pasang umpan. Tapi saya tak menemukan umpan kebanggaan dalam tas. Saya kembali ke tempat saya jatuh tadi, tapi juga nihil. Di bawah gerimis yang menyiram tubuh yang sudah kelelahan, saya mengingat-ingat di mana umpan itu.
Lama saya pikirkan, baru ingat umpan saya ketinggalan di rumah Pak Maryono. Seketika saya langsung teriak dan menepuk kening saya. “Ah, orang tua. Mulai pelupa,” kata saya lalu kembali menapaki jalanan lincin nan berlumpur itu.
Genre: Nonfiksi
Tema: Memori