Jalan Ninja Ronny Matuda

Ronny Matuda (tengah) membagun bjongngopi sejak 2007

Namanya Ronny Matuda, lebih akrab dipanggil Awang. Perawakannya seperti petinju kelas berat, kekar dan tinggi. Dengan rambut gondrong plus perawakannya itu Awang mengingatkan ke sosok Barda Mandrawata dalam serial Si Buta dari Goa Hantu yang diperankan Hadi Leo di RCTI pertengahan tahun 90an.

Kami duduk di salah satu meja di sayap kiri bjongngopi Nologaten, markas besar para tukang ngopi di Jogja yang ia bangun sejak 2007. Sebelum ngobrol singkat tentang riwayat hidup sekaligus warung kopi berpenyangga bambu yang menarik itu, Nyalanya menyimak semua geraknya: Ia menaruh dua ponselnya di atas meja. Satu diletakkan vertikal bersandar gelas sementara satu lagi menopang bagian bawah ponsel agar tidak jatuh. Di layar ponsel yang ditaruh vertikal itu ada sosok perempuan cantik yang berulang kali melempar senyum.

Ronny Matuda (A): Itu istri saya, biasa jam segini (kebetulan kami ngobrol sekitar jam delapan malam) kami selalu video call. Anak-anak soalnya kangen bapaknya (merapikan rambut).
Nyalanya (N): Weh penyayang juga ya Mas Awang ini. Wajah sangar hati bunga.
Woh iya, saya menyayangi semuanya hahahahaha. Ayo mau ngobrol apa nih?

Oh iya, moniker Awang itu dapat dari mana? Terus Matuda itu artinya apa sih?
Matuda itu bikinan orang tua saya sendiri. Kalau ‘Awang’ itu panggilan teman-teman pas kuliah di UII Ekonomi.

Mas Awang asli Jogja atau mana? Terus sosok Mas Awang yang hangat ini dibesarkan dalam keluarga yang pasti sama hangatnya ya? Soalnya kan Nyalanya kenal juga dengan Galank (adik kandung Awang). Meski sudah jadi bintang basket dia enggak sombong, sama hangatnya dengan Mas Awang.

Oh iya, Galank itu supel. Sangat supel. Keluargaku itu sederhana, orang enggak punya. Bapak Ibuku bukan orang yang kaya mendadak karena mendapat warisan atau apa. Mereka bisa seperti sekarang karena mengawali usaha dari kerja keras. Sejak kecil kami selalu diajarkan untuk bekerja keras dan pantang menyerah kalau punya usaha.

Mbah dan ibu dulu punya toko kelontong, yah meski akhirnya hancur karena ditipu orang, momen menyakitkan itu enggak bikin mereka menyerah. Mereka bangkit, lalu bikin usaha lele yang saat itu belum seramai sekarang. Aku ikut bantu dan lama-lama mengerti perjalanan mereka lalu menyimpulkan bahwa usaha yang penting kerja keras. Keringat yang keluar sama dengan hasil yang akan kamu dapatkan, entah sekarang atau besok. Saat kuliah kesimpulanku tambah, usaha enggak hanya soal kerja keras, bagaimana caranya hati juga senang. Jangan sampai hati kita enggak senang saat kerja atau memulai usaha.

Berarti bikin bjongngopi ini setelah melihat dan merasakan sendiri bahwa bikin usaha itu nyeni?

Setelah lulus kuliah mulanya ditawarin orang tua, mau kerja kantoran (PNS) di Pemda Magelang atau buka usaha. Karena memang didikannya dari keluarga pengusaha, kecil-kecilan lah aku pilih usaha. Jadi cerita awalnya waktu itu ada tawaran dari temanku untuk bikin warung kopi sendiri, patungan gitu. Aku ajukanlah proposal ke orang tua, hutanglah istilahnya. Tapi disetujui kalau buka sendiri, kalau sama orang lain nggak boleh. Jadi aku beranikan buka usaha sendiri ya bjong itu namanya. Tahun 2007 awalnya, eh iya ya sudah 14 tahun, enggak terasa hahaha.

Itu beneran hutang atau ‘hutang’ ke orang tua?
Tahu sendiri lah, awal kan bahasanya hutang tapi pas perjalanan kan dibantu hahaha.

Nama bjong itu gimana awal mulanya sih? Kenapa bjong?
Bjong itu kata Bojong sebenarnya. Sejak kecil aku pengen ngangkat nama Bojong, nama desaku. Orang tuaku sudah lebih dulu mengangkat nama desa. Ibuku bikin usaha namanya Bojong Akuarium, terus mbahku bikin toko kelontongan namanya Mbojong Toko. Gimana caranya aku juga mau bawa nama itu. Mulanya aku plesetin biar ear catching, tulisannya ‘B-Jong’ dibacanya ‘Be Young’ hahahaha. Tapi lama-lama orang-orang bilangnya bjong, ya sudah jadinya bjongngopi saja.

Terus sejarahnya tagline ‘Ngopi di Rumah Kawan’?
Mulanya bukan itu. Awalnya malah Ulity of Coffeeholic, hahaha, B-Jong Coffeshop Ulity Of Coffeeholic hahaha. Terus ganti tagline 2010 dan nama. Kenapa Ngopi di Rumah Kawan, aku mencontoh dari slogan usahanya orang tua. Usaha akuariumnya ibuku kan taglinenya Rekreasi di Rumah Sendiri’ terus aku ikutin saja.

Gimana perjalanan bjong di tahun-tahun awal? Ada momen yang pernah meruntuhkan niat usaha enggak di tahun-tahun itu?

Aku bikin bjong itu modal awalnya kecil. Sementara aku waktu itu buta peta, polos. Aku seperti berada di hutan gelap dengan banyak pohon besar. Aku enggak tahu harus melangkah ke mana. Aku enggak tahu cara bikin kopi atau makanan enak itu seperti apa. Modalnya ya nekat dan berani, yang penting aku oleh keringet (bekerja keras) dan kalau keringatku banyak pasti dapat duit yang banyak juga. Sepolos itu pikiranku awalnya.

Awalnya enggak di bangunan ini, tapi tepat di sebelah (bangunannya yang sekarang dipakai untuk usaha cuci mobil). Bangunan ini dulu masih sawah, hijau enak pokoknya. Terus tanahnya disewakan jadi lalu kami pindah ke sini. Setelah pindah ke sini kami bangun pakai bambu karena memang saya suka. Ada dua balkon yang juga saya bangun pakai bambu, sekarang sudah enggak ada.

Proses dari nol itu lumayan berat. Yang paling berat waktu itu kaitannya sama karyawan. Kalau orang lagi usaha awalan kan biasanya bingung. Aku usaha awalan, hanya punya modal untuk bangun tempat, enggak ada modal buat jualan, pasti cupet (pusing banget) kan. Apalagi awalan biasane warung sepi begitu, bagaimana caranya gaji karyawan. Di tahun awal gaji karyawan itu sedikit, jadi banyak yang keluar. Aku ditinggal, dan kami mengurus warung dari kasir sampai bikin makanan berempat saja. Aku, istriku, Galank, dan adik sepupuku selama satu minggu. Dan waktu itu warung rame. Itu yang paling berat. Sekarang aku bersyukur, karyawan Bjong pada betah di sini.

Sempat juga di tahun awal itu aku bangun bjong bersamaan dengan kuliah S2 dan berumah tangga untuk yang pertama. Kuliahku sempat ambyar dan rumah tanggaku bermasalah. Tapi ya itu tadi, aku harus bisa membalik keadaan dan Alhamdulillah bisa lewat masa-masa paling sulit itu.

Apa yang membuat Mas Awang bisa melewati semua kerumitan hidup itu lalu merawat usaha selama 14 tahun yang sekarang ini? Apalagi kan sekarang sudah punya dua kedai tambahan, satu di Maguwoharjo dan satu lagi di dekat UMY.

Jawabannya soul. Tentu aku membaca pasar yang aku sesuaikan dengan karakterku sendiri. Kalau aku menjalankan usaha tanpa soul, enggak akan bisa bertahan. Kalau dari hati pasti lebih nyaman jadi enak menjalaninya. Kalau soal pasar, ni kan teori nih, lama-lama aku jadi tahu pasarku itu siapa.

Gini deh, ambil contoh XL sama Telkomsel. XL itu imagenya muda sehingga iklannya ada seleb kekinian. Kalau Telkomsel mewah dan jaminan, kan pasar mereka beda dan tidak saling serang. Aku bikin usaha bjong ini tetap bisa survive karena tahu karakter pasar warung kopi. Dulu harga kopi di bjong Rp3 ribu, sekarang jadi Rp7 ribu. Kenapa? Kaitannya sama pasar juga, kalau naikin harga resikonya besar. Keputusan itu ngaruh juga. Dan saat menaikkan harga bukan karena ingin untung lebih, ada momennya sendiri sesuai bahan produksi.

Terus aku berpikir, jangan sampai slogan atau tagline itu cuma pemanis atau tulisan. Bagaimana caranya aku secara pribadi juga enggak jauh dari slogan bjong. Caraku menerima dan melayani tamu ya persis seperti sekarang, Bagaimana caranya mereka yang datang jadi relasi. Entah itu dari kalangan mana, walau enggak pernah ke bjong pasti aku kenalan, jadi teman.

Enggak ada formal-formalnya, pokoknya jadi teman dan titik tertingginya kalau tamu itu sudah bisa dipisuhi (pisuhan dalam kultur komunikasi di sejumlah daerah seperti Jogja dan Surabaya punya semantik yang luas, salah satunya ungkapan keakraban) karena sudah ada kedekatan.

Ibuku juga banyak mengajari tentang bagaimana cara melayani tamu. Pas lebaran itu kan akuarium lagi panen-panennya, biasanya ibuku ditinggal sama karyawan. Sehingga aku sama ibu saja yang jalan. Ibu ngajarin, ‘Le melayani pembeli itu bukan begitu caranya. Jangan didiamkan, tapi ditanya, bukan ditanya apa butuhnya, tapi tanya sampean orang mana’ kesimpulannya bukan meyakinkan pembeli tapi gimana caranya bikin relasi. Itu tak bawa sampai sekarang dan itulah jalan ninjaku.

Nah, yang ngopi di sini dari semua kalangan. Ada yang mentereng sampai sepatu Air Jordan masuk sini, perupa, musisi, anak teater, dokter, psikolog, pokoknya macam-macam lah. Terus bjong pada akhirnya jadi ruang kreatif bagi mereka. Mas Awang buka pintu selebar-lebarnya buat yang ngopi di sini untuk bikin apa saja. Itu konsep mmmm harapan dari awal atau mengalir begitu saja?

Lebih ke yang terakhir, soalnya aku enggak punya konsep besar atau yang rumit ketika menjalankan usaha ini. Aku kurang baik kalau bab perencanaan. Aku cuma mau mereka yang ngopi di sini aku jadi temanku. Kamu mau ngapain aja di bjong boleh, mau curhat ya aku dengerin, mau minta tolong ya aku tolongin karena konsep teman buatku ya seperti itu. Enggak ada batas.

Karyawanku enggak aku suruh pakai sepatu atau baju yang ndakik, yang penting batas sopan saja. Senyaman mereka saja. Karyawan juga pada akhirnya bisa cair sama pelanggan. Jadi teman orang-orang yang ngopi di sini. Selama pandemi ini teman-temanku (karyawan) mereka betah. Mereka memahami tetap stay di sini, artinya ‘nggak bisa ini Mas Awang kalau sendiri’.

Mas Awang punya keinginan apa lagi untuk bjong ini ke depannya? Ada ambisi pribadi?
Ambisi apa ya, sebenarnya aku ingin sekali bjong ini jadi ruang galeri teman-teman. Entah itu rupa, musik, dan lain-lain. Ingin sekali biar karya dan seniman itu tumbuh terus di Jogja. Iya mungkin itu deng, suatu saat aku mau bikin galeri untuk teman-teman yang menghabiskan kopinya di bjong.



Genre: Wawancara

Tema: Wawancara