Jalan Terjal Wonogiri-Bengkulu

Sutarti

Istimewa

Kedua orang tuaku petani. Setiap hari bekerja di ladang menanam padi, sayur, dan cabe untuk menghidupi keluarga. Aku dibesarkan orang tuaku bersama lima saudaraku. Hidup dengan segala kekurangan dan keterbatasan. Meski begitu kami tetap bersyukur karena masih bisa makan, tumbuh dan berkembang bersama.  Hidup di rumah berlantai tanah, saat menyapu harus diguyur air  dulu agar tidak berdebu.  Bisa tidur nyenyak dan tidak kedinginan sudah cukup bagi kami.

“Bapak…bapak….,” teriak kakakku, anak pertama bernama Yoto menghampiri bapak yang sedang termenung di tengah sawah. 

Ono opo to lhe,” Sahut bapakku. 

“Ada orang Pak tadi ke rumah.  Nanya siapa mau transmigrasi ke Bengkulu.”

“Wah piye yo lhe bapak urung siap,” jawab bapak. 

Berhari hari kata transmigrasi menjadi renungan bapak, dia melamun memikirkan nasib kami. Kami berlima lahir dan tinggal di Desa Prambe Wonogiri Jawa tengah. Sebagai anak tertua Kak Yoto selalu mengingatkan bapak. Sawah hanya sepetak, anak banyak, bagaimana masa depan kami di sini.

Suatu hari bapak pun  pergi mendaftar transmigrasi namun pulang dengan wajah lesu karena pendaftarannya sudah tutup.  Tapi sepertinya tekad bapak sudah bulat lalu mengajak ibu transmigrasi ke Bengkulu secara mandiri. 

“Kita harus ke Bengkulu bu, kita harus cari tanah yang luas buat anak anak kita,” kata bapak dan begitulah awal cerita pergi ke Bengkulu. 

Tibalah kami di Bengkulu lalu membeli rumah trans kecil. Ladang dan sawah menjadi lumbung keluarga. Kami mendaftar di sebuah sekolah negeri tepatnya di Desa Bumiharjo Ketahun. Sepulang sekolah bantu ibu dan bapak menanam  padi di sawah sambil cari ikan. Habis salat magrib  makan bersama. Kadang nasi putih kadang tiwul dari ubi, itupun di jatah agar semua kebagian. 

Selepas salat isya mereka sudah tidur karena kelelahan. Aku geser lampu teplok andalan kami ketika malam. Maklum belum ada listrik kala itu.  Ku raih buku untuk belajar dan mengerjakan tugas sekolah. Sesekali ku dengar suara dengkur orang tuaku karena terlelap. 

Saat bangun tidur hal pertama yang aku lakukan adalah bercermin. Aku hanya memeriksa hidungku. Maklum lampunya teplok, jadi tertinggal sisa asap di hidungku. Lucu saja. Usai subuhan aku segera ke dapur. Malu rasanya saat melihat ibu sudah selesai masak untuk kami. Ibu minta setelah pulang sekolah aku menutu pari. NUTU PARI artinya menumbuk padi di lesung biar kami bisa makan. Kadang sampai lecet tangan kami. Tapi kami tak pernah mengeluh. 

Hari hari sekolah sampai SMA aku lalui dengan riang. Setelah tamat SMA  orang tuaku bilang kalau ada yang mau melamarku, lalu diberi pilihan apakah mau menikah atau lanjut ke bangku kuliah. Aku menangis. Aku tidak suka dengan perjodohan. Aku bertekad kuliah saja. Ya sudah kata ibuku, kalau mau kuliah ibu tidak bisa kasih uang banyak.

Di masa kuliah aku berhemat.  Tempat kos pertama di depan UNIB. Awal masuk kuliah 2007.  Biaya kos 25 ribu sebulan. Saya dikasih uang Rp150 ribu perbulan. Saya bisa bertahan karena dari rumah sudah di bekali beras lima cupak dan minyak goreng. 

Di semester 5 aku terancam berhenti kuliah. Sudah benar tak berdaya orang tua. Aku sedih namun hanya bisa pasrah. Jika ini yang terbaik ya sudahlah. Suatu ketika kakak berbincang dengan ibu. Dia mau aku terus kuliah dan akan membantu ibu. Kakak pinjam uang ke Bank lalu membeli kebun karet dua hektar  agar kami bisa bertahan kuliah dan untuk dua adikku sekolah. 

Ya Tuhan begitu lihat lokasi kebun duh jauuuhhhh banget. Untuk mencapai lokasi harus berjalan kaki melewati  jalan setapak bersemak terjal sepanjang 3 km. Demi kami orang tua rela sampai terpeleset karena licin , kaki penuh dengan pacet dan sering ketemu babi hutan yang menyeramkan.  4 tahun orang tuaku sanggup bertahan dalam kondisi seperti itu menyadap karet untuk sekolah kami. Tak peduli dengan hiruk pikuk keindahan di luar. 

Bulan April 2001 aku mendapat gelar Sarjana Pendidikan Biologi. Bahagia rasanya bisa foto wisuda sama kedua orang tuaku. Kusambut jemari tangannya kucium dengan derai air mata. Jarinya yang kasar dan bengkok karena terlalu lama bekerja. Kulihat kakinya dengan kulit kakinya yang pecah pecah  karena terlalu lama melewati jalan terjal berliku. Kulihat kulit wajahnya yang keriput karena terlalu lama  tersengat matahari.



Genre: Nonfiksi

Tema: Memori