Imas Nur Fatimah
Zaman kuliah aku punya teman seperkumpulan, sepermainan, atau geng bahasa gaulnya. Kami bertujuh selalu ngumpul, tidak terpisahkan. Di kelas, saat kantin, laboraturium, dan tentu saja saat mengerjakan tugas laporan. Ajang kumpul itu penting, bisa dapat pahala karena saling berbagi makanan, cerita, atau contekan kalau ikhlas hehehe.
Nah, di antara 7 teman ada yang badannya gemuk. Dia aku panggil ‘Ndut’ bahkan sampai waktu berlalu melibas kami sampai mau lulus kuliah aku masih saja memanggilnya dengan sebutan yang sama.
Setelah KKN aku merasa ada yang aneh dengan hidupku. Bajuku tiba-tiba mengecil sendiri. Setelah bertemu kaca dan lama memandangi sosok di dalamnya aku baru sadar tubuhku makin subur. Pipi macam bakpau, lengan sudah seperti orang angkat berat, dan jari jari tanganku jadi jempol semua. Berat badanku ternyata naik sebelas kilo.
Tiba–tiba aku teringat dengan Ndut. Hatiku berkecamuk, apakah ini balasan karena dulu terus mengejeknya, apakah diam–diam Si Ndut mendoakan aku jadi gendut? Apakah dia tersinggung dengan panggilan itu? Semua teman di kampus juga sadar kalau aku gendutan, perlahan satu persatu memanggilku ‘Ndut’ juga.
Oh Tuhan, begini rasanya sakit tapi tidak berdarah huhuhu. Begini rasanya kena karma. Barangkali inilah satu di antara sekian alasan bully itu dilarang. Selain menyakiti mental, hati, bahkan jiwa, bully juga bisa jadi boomerang seperti doa yang kita panjatkan untuk kita sendiri.
Genre: Nonfiksi
Tema: memori