Kisah ini Bermula dari Dendam yang Harus Dituntaskan

Unistri

Dok.Wikihow

Hai para emak-emak semuanya, salam kenal dari saya, Unistri. Saya  guru SD Tenera.  Saya melalui hari dengan banyak kegiatan. Selain bekerja, saya harus bersosial dengan tetangga melalui pengajian, rewang, dan kegiatan lainya. Saya tidak pernah menyesal punya banyak kegiatan karena dari dulu sudah banyak aktivitas karena suka petualangan.

Saat ini  ada tugas dari Tukang Kebun membuat tulisan tentang buku. Nah, kebetulan memang dari SD saya sanggat suka membaca tetapi sulit membelinya karena keterbatasan ekonomi. Syukurlah dalam buku pelajaran Bahasa Indonesia ada cerita dongeng tentang ikan gabus sehingga memuaskan hasrat membaca saya. Cerita itu begitu lekat karena saya membacanya sampai sepuluh kali.

Menjelang SMP teman-teman saya tambah banyak. Ruang lingkup juga meluas sehingga mempermudah akses membaca buku-buku. Saya juga mulai senang membaca novel aksi seperti Wiro Sableng yang ditulis Bastian Tito. Demi membaca novel itu saya harus menginap di rumah teman saya karena tidak boleh dibawa pulang.

Ketika mendapatkan penghasilan sendiri saya balas dendam dong. Saya bisa membeli banyak buku kesukaan memuaskan hobi membaca dan dari balas dendam itu muncuk sensitivitas yang ingin saya tularkan ke keluarga terutama anak. Lantas saat hamil saya mengumpulkan berbagai buku, majalah, novel, dan lain- lain karena berharap anak akan hobi membaca juga. Setelah anak kami berusia satu tahun saya memperkenalkan bahkan berlanganan majalah Bobo dan buku anak-anak.

Upaya membangun kultur baca di rumah cukup sukses. Sejak TK sampai sekarang anak pertama kami  sangat senang main ke Perpustakaan Tenera membaca buku. Koleksi di sana lengkap, semua jenis genre buku ada sehingga anak kami betah di sana. Saat pulang sekolah saya tidak akan susah mencarinya, pasti dia ada bersama Bu Bekti di perpustakaan.

Tidak hanya itu, anak saya ini saking senangnya membaca pasti mengajak ke Gramedia ketika pulang ke Bengkulu. Dia juga sering masuk ke perpustakaan sekolah lain. Misalnya ke SMA 7 Putri Hijau yang terletak dekat rumah saya. Dia rela menunggu anak-anak SMA itu pulang lalu gentian masuk ke perpus. Hobi anak saya ini berlanjut sampai sekarang.

Jangan Mengalah

Sebagai orangtua yang membangun kultur membaca di rumah saya tidak boleh kalah atau mengalah dengan anak. Dengan kata lain, saya harus lebih rajin membaca di tengah kesibukan perkerjaan dan urusan rumah tangga.

Di masa-masa sekarang saya lebih suka membaca novel digital apalagi sudah banyak aplikasi digital seperti Fizzo Novel, Novel Toon  dan lain-lain. Dari sekian novel online, ada satu judul yang berkesan yaitu Nafkah 15 Ribu.

Novel ini bertema sosial, kemiskinan. Tentang pasangan suami istri yang hidup serba kekurangan. Rani, sang istri, banting tulang membangun rumah tangga, dari jualan keripik pisang sampai kosmetik karena uang yang diberi suami tidak pernah mencukupi kebutuhan. Perjuangan Rani berujung tragedi. Ia dicibir mertua karena gagal membantu suami. Puncaknya, ia diceraikan.

Getir demi getir dalam banyak peristiwa menyedihkan itu ternyata gagal mematahkan semangat Rani. Dibarengi kekuatan doa dan pikiran, Rani berakrobat, mencari cara agar dagangannya laku keras. Semesta menjawab upayanya, lama kelamaan usaha Rani meningkat sampai punya toko kosmetik. Usaha keripiknya juga maju sehingga mampu mempekerjakan puluhan karyawan.

Jadi, mari para emak-emak di zaman serba mahal ini kita bisa meneladani kisah Rani dalam novel itu. Setidaknya kita berani berinovasi supaya uang belanja cukup misalnya dengan menanam sayuran sendiri. Saya sudah menanam sayuran, setidaknya cukup untuk keperluan sehari-hari. Saya bisa menjual sayuran dan tanaman lain ketika ada lebihan panen. Untungnya tidak seberapa tetapi rasa senangnya luar biasa.



Genre: Nonfiksi

Tema: Buku