Dua kakak memeluk lalu menangis di bahuku saat kami bertemu di depan kamar kosnya. Keharuan berlanjut di dalam kosan kecil berukuran 3,5 meter x 4,5 meter yang terletak di ujung gang belakang Universitas Bengkulu itu.
Kamar kos mereka memang kecil, tambah sumpek dengan kedatanganku ke sana karena ruangannya memang dibangun untuk satu orang saja. Di tahun berikutnya, adikku bergabung di kamar itu karena kuliah juga di Universitas Bengkulu.
Kami berempat perempuan. Jarak usia kami berdekatan sementara ekonomi keluarga terbatas. Setiap satu tahun ada yang masuk kuliah. Untuk membayar kosan kecil itu saja sudah sangat berat, belum lagi untuk membayar uang kuliah. Tapi kami berusaha hidup sekreatif mungkin. Kami sulap ruang kosan sempit itu menjadi nyaman.
Ketika mentari menyapa kami sudah beraktivitas. Membereskan kamar, menyusun ruangan, mencuci, memasak, dan menyetrika secara gotong royong. Siang hari kamar kos itu dihuni udara saja karena kami kuliah sambil bekerja untuk membantu orang tua. Kami pergi jam tujuh pagi pulang jam tujuh malam. Ada yang bekerja menjaga anak, penerjemah, les privat, dan jualan kain monja.
Saat malam, kosan serba guna itu seperti tampa, kami bagaikan ikan rebus yang berjejer rapi hanya untuk mengistirahatkan tubuh yang kelelahan. Sekadar mengisi baterai lagi agar esok siap dihantam kerasnya dunia.
Di sudut kosan itu kami membangun sebuah pohon harapan. Kami menulis impian, atau cita-cita, di kertas kecil lalu digantung di ranting pohon setiap hari. Pohon harapan itu kami jadikan pendorong dan kekuatan untuk hidup kami. Seperti ada kekuatan sihir di pohon itu. Setiap harapan, impian, dan cita cita yang kami gantung terwujud. Aku pernah menulis ingin menjadi guru Matematika. Akhirnya mimpi itu jadi nyata.
Genre:
Tema: