Tri Marcelina Tarigan
Banyak peristiwa yang dulu istimewa kini berkesan biasa saja. Termasuk perkara ulang tahun.
Dari dulu aku selalu menunggu datangnya hari itu. Hari ulang tahunku. Hari di mana semua orang yang aku kenal dan kasihi akan mengucapkan selamat padaku. Tak sedikit pula yang memberi kejutan dan hadiah. Hari itu sepertinya adalah hariku saja. Milikku. Semua hanya tentangku.
Jangan sampai ada yang merusaknya. Siapapun. Apapun. Jangan sampai ada yang melupakannya. Bisa-bisa patah hati sejadi-jadinya.
Sahabat-sahabatku menjadi bagian terpenting dalam hari bersejarahku itu. Separuh waktu aku habiskan bersama mereka. Laiknya pesta dadakan, semua penuh dengan kejutan. Di-prank, pesta kecil, tiup lilin, colek-colekan krim kue, bernyanyi lagu kesukaan, makan-makan, diberi hadiah berupa hal-hal yang aku suka, dan berakhir makan malam bersama keluarga. Sebahagia itu. Seistimewa itu.
Namun, sejak memiliki anak kedua dan seiring berjalannya waktu, rasa “istimewa” itu memudar. Ulang tahun tidak lagi menjadi sesuatu yang hukumnya wajib untuk dirayakan. Jangan salah sangka, bukan karena suamiku orang yang tak romantis dan peka, bahkan setiap tahun dia selalu menyiapkan kejutan kecil buatku. Beli kue, tiup lilin, beri kado, dan makan bersama. Tradisi itu tidak hilang kok.
Seperti tahun lalu, dia memberiku hadiah wadah bumbu yang dibelinya di Toko Mathagia. Warnanya kombinasi bening dan pink. Ada empat toples yang tersusun lengkap dengan tatakan dan sendoknya. Cantik sekali. Harganya mungkin cuma dua puluh lima ribu rupiah tetapi itu salah satu bentuk perhatiannya padaku.
Dia tahu wadah bumbu di rumah berupa toples bekas sosis dan kue kering yang kami beli di mini market. Sayang kalau dibuang. lagipula, ibu-ibu mana yang tak suka perabotan rumah tangga yang unik dan lucu?
Semakin dewasa aku semakin menyadari bahwa ulang tahun bukan soal perayaan, tetapi tentang perenungan hidup. Tidak ada yang tahu kapan masa aktif seseorang akan habis, artinya waktu yang diberikan Tuhan terbatas. Lalu, apa yang sudah aku lakukan selama setahun ke belakang dan yang akan harus dipersiapkan untuk satu tahun ke depan? Adakah aku sudah menjadi manusia berguna buat orang lain?
Apakah aku sudah melakukan tugasku dengan baik selama ini? Tentu tidak. Namun, dengan menyadari kesalahanku dan tidak mengulanginya saja itu cukup menjadi gebrakan baru sekaligus langkah mutakhir memperbaiki diri menjadi lebih baik lagi. Karena hidup adalah kesempatan, aku berusaha tidak menyiakan waktu yang diberikan.
Genre: Nonfiksi
Tema: Keluarga