Elisabet Tambunan
Bersama tiga teman, aku mewakili Sekolah Tenera ke kemah aksi di Hutan Sebelat selama tiga hari. Cukup lama kemahnya sehingga kami membawa banyak barang. Saking banyaknya barang yang dibawa, kami seperti anak yang diusir dari rumah.
Tangan kanan menenteng tas beserta alat tenda sedangkan tangan kiri menjunjung tikar berat beserta perlengkapan mandi. Tas kami juga cukup berat, isinya makanan semua agar tak kelaparan di hutan sana.
Kami sampai dengan gembira. Saat sampai di sana sudah banyak tenda yang berdiri. Peserta kemah aksi ini ternyata beragam, bukan hanya anak sekolah. Tidak butuh waktu lama mendirikan tenda karena kami cukup gesit. Namun, baru sebentar berdiri datang hujan deras beserta gunturnya yang menyiutkan nyali. Tenda kami basah. Perlu dua jam lebih untuk mengusir genangan sambil menahan dingin.
Puji Tuhan pagi cerah. Kami semangat mengikuti serangkaian acara. Apa yang lebih enak dari keliling dunia? Susur hutan jawabnya. Memasuki hutan nan hijau di kawasan yang dilindungi itu membuat kami terkagum-kagum. Pohon-pohon yang tinggi tampak akrab dengan gulma dan hewan-hewan. Udaranya sangat bersih, sehingga aku menjadi lebih segar.
Namun hutan punya caranya sendiri menyambut para tamu. Lebih jauh masuk ke dalam hutan, saya disengat tawon. Masuk lebih dalam kami diserang ratusan pacet besar. Yah, itulah hutan.
Menyusuri hutan menghabiskan waktu sampai setengah hari. Setelah sampai tenda, acara dilanjutkan dengan talk show tentang ancaman perusakan lingkungan. Salah satu narasumber minta kami memberikan pernyataan mengenai tambang batu bara yang akan merusak bentang alam Seblat. Dengan penuh rasa bangga dan agak sedikit gugup, saya menjawabnya sejelas mungkin. Jawaban saya membuat kami terkenal di tengah peserta kemah aksi.
Begitu talk show selesai, kami disambangi banyak peserta. Mereka bertanya-tanya tentang Sekolah Tenera. Pertanyaan mereka kami jawab pelan-pelan dengan rasa bangga.
Genre: Nonfiksi
Tema: Lingkungan