Nindy
Ramadhan tahun ini berbeda. Bulan puasa tahun lalu aku seorang mahasiswa akhir yang sibuk mengurus seminar proposal sedangkan tahun ini sudah bekerja sebagai guru. Meski beda status, masih ada kesamaannya yaitu tetap jadi anak kos.
Cerita ini aku tulis di hari puasa ke-9. Aku berpuasa di mess, rasanya seperti ngekos karena menjalani ibadah jauh dari orangtua. Seperti anak kosan pada umumnya, aku sedikit malas memasak untuk berbuka hahaha.
Aku dan teman mess bernama Dinda nekat buka puasa di luar. Uang di dompet kami tinggal Rp50 ribu. Kami mau makan enak tetapi murah. Solusinya ya mie ayam, semangkok hanya Rp10 ribu saja. Setelah menyantap mie ayam kami mencari makanan untuk sahur.
“Kita beli ayam bakar aja yuk, kemarin aku coba tempat enak. Pakai nasi harganya Rp20 ribu, nah kita beli lauknya saja paling cuma Rp10 ribu,” saran Dinda.
Sebenarnya aku agak ragu mengiyakan ajakannya karena akhir bulan tetapi tidak ada pasar yang buka malam hari. Di lain sisi, aku sudah bosan sahur pakai telur goreng. hampir tiap hari makan telur.
“Ya sudah deh gapapa, toh besok Sabtu kita pulang ke rumah,” jawabku.
Kami segera menuju tempat warung ayam bakar. Sampai di sana kami segera pesan tanpa bertanya lebih dahulu harga sepotong ayam bakar yang aromanya sangat sedap itu.
“ Rp20 ribu satu mbak,” kata pelayan lalu menyodorkan bungkusan berisi ayam bakar.
Dinda terdiam dan melirikku. Aku menahan tawa melihat ekspresinya. Sejujurnya aku juga terkejut ternyata harganya di luar dugaan kami. Yah mau tidak mau kami harus membayar dengan harga dua kali lipat dari prediksi. Sepanjang perjalanan pulang Dinda mengomel gara-gara harga ayam bakar. Aku hanya tertawa.
Genre: Nonfiksi
Tema: Ramadhan