Meratapi Nasib Anak Ayam yang Menyelamatkan Nyawa Kami

Wahyu Gianto

Dok.Youtube

Di tengah kesibukan bulan bahasa di sekolah aku meluangkan waktu membuat kandang untuk ayam-ayamnya anakku si Shanum. Anakku itu suka dengan hewan tapi hanya sekadar suka. Gajah suka, Kucing suka, Sapi suka, Ayam suka tapi megang enggak berani, mendekat juga tidak berani.

Suatu ketika kami hendak pulang menuju surga dunia kami yang berada di Kebun PT. Agricinal, kami mampir dulu ke wahana pasar malam di terminal Kecamatan Putri Hijau. Kami keliling-keliling mencoba satu persatu wahana di sana hingga tak terasa dompet mulai kempes. Saat mulai larut kami memutuskan untuk pulang. Namun ketika menuju kekendaraan yang akan kami tumpangi, ehhh malah ketemu ayam warna-warni, waduhh pajak lagi ini dalam benakku.

Dua ekor harganya Rp10 ribu. Ini kedua kalinya aku menjadi baby sister-nya ayam anakku. Kebetulan warnan bulunya sama dengan yang kami beli di Pasar Kamis ketika libur sekolah. Pink dan Kuning itulah warna bulu ayamnya Shanum. Sedih rasanya jika mengenang ayam karena saat beranjak besar mereka terpisahkan dengan cara mengenaskan. Si pink mati dimakan hewan buas. Hanya bulu-bulu berwarna pink yang sudah pudar memutih itu saja yang tersisa di dekat kandang. Tinggal si kuning yang menghibur bocah kecilku. Namun kuning juga tak berumur panjang karena jadi korban keganasan seorang ibu yang tak punya lauk untuk menu buka bersama di komplek perumahan guru.

Memang sih aku mengizinkan ibu itu memotong Kuning. Kami tidak berani memotongnya apalagi membantu membersihkan. Tetanggaku, Om Muis yang menjadi jagalnya. Selain ayam warna-warni sebernarnya aku punya ayam kampung biasa dan ayam hias semi Serama yang bertubuh cebol. Dalam hati kami berpikir bahwa ayam Shanum yang kami beli di pasar malam itu kelak bisa juga untuk acara buka bersama.

Aku makin semangat membuatkan kandangnya. Ketika libur hari Minggu aku sudah sibuk di rumah Mbahnya Shanum memotong lalu membelah bambu dengan jumlah dan ukuran seperti gambaran dalam benak yang aku gambar di atas tanah kering yang sudah lama tak disiram hujan. Aku potong-potong sesuai dengan ukuran agar ketika sampai di kebun Agricinal tingal dibuat sesuai ukuran.

Bahan-bahan yang sudah komplit, termasuk atap istimewa Multiroop sudah siap. Kayu dan bambu aku masukan karung lalu aku taruh di bagian belakang mobil. Kami berkemas lalu berangkat menuju kebun Agricinal. Suara berisik calon atap kandang ayam menemani perjalanan kami, krengkat-krengkit menusuk gendang telinga. Aku melambatkan laju mobil agar suaranya tak begitu kecang, namun belum seperempat perjalan kami berpapasan dengan mobil di jalan yang sempit.

“Tasssssss krecekkresek kresek sek sek,” terdengar suara dari bagian belakang mobil kami. Ibunya Shanum berteriak. Ban kami pecah.

Seketika aku melihat sebelah kiri bagian suara. Begitu terkejutnya aku melihat roda mobil sudah menggelinding ke depan halaman orang. Aku turun mobil terus mengecek apakah ada korban atau tidak. Alhamdulilah hanya pagarrumah orang yang patah terkena rodaku yang lepas. Syukur alhamdulilah orangnya pun baik mau menolong meminjamkan balok kayu untuk mengganjal mobilku. Aku yang masih panik menelepon saudaraku untuk menyusul sambil membawa baut-baut roda.

Alhamdulilah kami masih diberi keselamatan saat kejadian itu. Mungkin karena bawa atap kandang ayam itu hingga kami berjalan pelan. Tanpa atap itu apa yang terjadi selanjutnya aku tidak tahu karena biasanya kami cukup kencang. Allah telah menyelamatkan kami melalui atap itu. Aku makin semangat membuat kandang. Setiap sore aku cicil membuatnya di sela-sela kesibukan kegiatan sekolah dan mengangsu air karena sumur kami kering akibat kemarau. Sementara ayam-ayam aku titipkan ke tetangga.

Kandang ayamku sudah jadi. Sebelum ditempati calon penghuninya, eh malah anak ayam hiasku yang sudah saatnya dipisahkan oleh induknya tiba-tiba sore itu hilang bak dimakan bumi. Aku pun mengiklaskan karena sudah ada ganti dari yang baru turun dan menumpang di kandang tetangga itu. Sore itu ayam warna-warni punya Shanum aku masukan di bagian atas untuk memperbaruinya. Pagi itu pula ayam yang semula munumpang di kandang tetangga aku pindahkan juga.

Seperti biasa kami setiap Sabtu dan Minggu kami selalu pulang kerumah Mbahnya Shanum. Minggu sorenya kami pulang seperti bisa dan Alhamdulilah selamat sampai tujuan. Malam itu aku memeriksa ayamku dan milik Shanum. Begitu terkejutnya aku ketika melihat ayamnya Shanum yang pink tak ada di kandang lagi. Hanya tersisa si Kuning dengan situasi yang akrab. Dalam kandang hanya tertinggal bulu-bulu di sekitar kandang.

Aku merasa kasihan dengan kuning dia meratap kesediahan dengan nada kikikan seekor ayam yang kesakitan, dia terduduk pucat dengan kepala yang lesu paruh tertempel di lantai kandang. Bagian belakangnya masih mengalir darah segar. Kujulurkan tanganku untuk mengeceknya tubuhnya. Begitu aku buka sayapnya, seluruh kaki kirinya hilang terkoyak. Aku sangat menyesal telah memindahkanya ke bagian belakang rumah padahal luka di bagian ekornya baru saja mengering.

Luka bagian ekornya juga salahku karena mereka aku gabung dengan ayam hiasku berharap mereka mau mengasuhnya. Eh pulang sekolah kulihat pantat mereka sudah bolong semua. Aku sangat merasa bersalah dengan mereka. Aku doakan semoga lekas sembuh dan jika memang tak panjang umur segeralah ambil nyawanya karena aku tak kuat membayangkan bagaimana rasanya kehilangan anggotactubuh dan teman kecilnya. Andai aku berani memotongnya aku sudah memotongnya lalu akan aku kuburkan dengan layak.

Setelah kejadian menyesakkan itu aku jumpai si Shanum. Aku ceritakan semuanya sambil meratapi kesedihan musibah itu. Anakku pun turut bersedih. Kami kehilangan harapan untuk membuat menu yang sama di acara buka bersama tahun depan. Dua hari berlalu si kuning pun ikut menyusul si Pink. Pagi-pagi kami buatkan kuburanya lalu kami makamkan dia selayaknya.

Wahyu Gianto
Guru SMP Tenera



Genre:

Tema: