Rizal SN
Aku lahir dan tumbuh di sebuah desa di tengah kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Ketika kawan sebaya sedang keranjingan bermain, Aku ketagihan membaca. Mungkin karena Ayah seorang guru, dia terlalu cepat mengajariku membaca. Sebelum masuk SD Aku sudah bisa membaca. Kelas tiga SD sudah lancar baca Alquran. Padahal, dulu beberapa teman di kelas dua SD masih separo yang belum lancar membaca.
Sayangnya, di desaku minim sekali buku bacaan bagus. Satu-satunya tempat di mana kamu bisa mengakses buku adalah di perpustakaan sekolah. Tapi perpustakaan sekolah ketika itu sangat sempit. Harus berbagi dengan ruangan gamelan. Membaca buku di waktu istirahat juga harus terganggu dengan suara gamelan anak karawitan yang belajar menabuh bonang, kendang dan gong. Sungguh bising. Tapi Aku tidak bisa melempar mereka dengan pulpen seperti Rangga di film Ada Apa Dengan Cinta (AADC).
Toko buku hanya ada di kota yang jaraknya sekitar 45 menit perjalanan. Atau kalau ingin lebih banyak pilihan bisa ke Purwokerto yang tentu lebih jauh. Mungkin ini seperti kau mahir memanah tapi tidak ada hewan buruan. Beruntunglah yang tinggal di kota yang banyak perpustakaan dan toko buku. Kamu bisa berburu sepuasnya.
Aku lebih banyak menghabiskan waktu istirahat di perpustakaan. Membaca cerita dan pengetahuan menurutku lebih menarik. Setengah jam kadang terasa singkat ketika sedang membaca. Tak memedulikan berbagai jajanan di kantin. Sehingga seringkali uang saku tak terpakai. Masih utuh sampai bel tanda waktu belajar selesai berbunyi.
Kadang kala ketika sedang asyik membaca sebuah buku, Aku tidak mau jika harus menunda menyelesaikanya. Ada rasa penasaran yang mengganjal jika tidak segera mengetahui kisah seterusnya.
Maka kadang buku itu aku bawa pulang. Mula-mula satu buku. Lalu dua buku. Tiga buku. Kemudian berlanjut sampai buku-buku yang menurutku bagus selesai aku baca. Aku lupa apakah semua buku itu dikembalikan atau tidak. Agar tidak ketahuan guru–karena perpustakaan juga bersebelahan dengan ruang guru–buku itu aku masukan di balik baju.
Selain buku, aku juga suka baca koran. Aku sering baca Suara Merdeka karena Pakde di sebelah rumah langganan koran asal Semarang itu. Pakde dua periode jadi Kepala Desa. Seperti menjadi keharusan Kades di Jawa Tengah harus berlangganan koran milik Kukrit Suryo Wicaksono itu.
Nah, loper koran selalu datang pagi hari. Sekitar setengah enam pagi. Rumah pakde punya pendopo di bagian depan. Lalu bangunan utama di belakang pendopo. Si loper kadang hanya menaruhnya atau melemparnya dari balik pagar ke tengah pendopo. Aku selalu menunggu suara motor si loper melintas di pagi hari.
Kadang sebelum pakdhe membuka koranya itu, Aku sudah mendahuluinya. Membaca dengan cepat hal menarik dari lembar demi lembar. Halaman olahraga selalu menjadi yang favorit. Biasanya ada di halaman paling ujung. Tahun 2000-an adalah tahun fantastis bagi penggemar sepakbola Eropa.
Manchester United sedang merajai Inggris. Valencia dan Deportivo la Coruna lebih hebat dari Real Madrid. Barcelona masih jadi anak bawang saat itu. AS Roma dan Lazio menjadi wakil ibukota Italia yang kekuatannya waktu itu hampir menyamai Juventus dan mengganggu AC Milan ketika itu. Di Indonesia tidak kalah seru. Persija Jakarta, PSIS Semarang, Persik Kediri, PSM Makassar, Petrokimia Putra masih menjadi tim bagus. Jauh sebelum Persipura Jayapura mendominasi.
Aku tidak pernah lupa momen itu. Rasa degdegan ketika memasukan buku di balik baju lalu jalan ke luar perpusatakaan melewati penjaga dan aroma kertas koran yang kucium sebelum kubaca mendahului Pakde selalu aku ingat sampai sebesar ini. Momen yang ingin sekali lagi aku ulangi di kampung halaman yang sunyi namun sangat kusayangi.
Rizal SN
Pernah Belajar di LPM EKSPRESI UNY
Genre:
Tema: