Musim “Tuyul” di Kampungku

Rita Melda

Dok.bolasian TV

Liburan kali ini saya dan keluarga tidak bepergian ke tempat yang jauh. Kami hanya pulang kampung ke rumah orang tua di Ketahun. Dari rumah kami menuju Ketahun hanya memakan waktu dua jam perjalanan saja. Pulang kampung selalu berhasil membawa kami bernostalgia dengan segala kenangan indah masa kecil. Tapi sekarang saya bukan anak kecil lagi, bahkan sudah jadi orang tua dari Ghozi.

Di usia Ghozi yang baru 7 tahun, pulang kampung menjadi hal yang paling ditunggu karena di sana Ghozi punya banyak teman sebaya. Tiap kali pulang kampung, dia sering menghabiskan waktu bermain bersama teman-teman sebayanya. Seperti kemarin itu, baru juga datang, Ghozi pun sudah menghilang entah kemana dengan sepeda roda empatnya.

Baru juga saya cari tiba-tiba saja Ghozi muncul dengan tergopoh-gopoh lalu membuka kulkas mengambil air dingin. Selesai minum dengan raut muka yang serius Ghazi bilang sesuatu yang bikin aku kaget.

“Mak teman-teman ku udah jadi tuyul loh” katanya.

“Kok jadi tuyul?” tanyaku heran.

“Iya coba nanti Mamak tengok ya!” katanya lalu langsung keluyuran lagi.

Tak lama berselang terdengar teriakkan anak-anak kecil, riuh sekali. Dari kejauhan aku melihat rombongan anak laki-laki dengan kepala plontos berlarian. Lucu sekali bentuknya. Panas matahari makin membuat kepala plontos mereka bersinar. Pasti ini yang dibilang tuyul oleh si Ghozi. Rombongan “tuyul” menuju warung Neneknya Ghozi. Mereka kompak jajan es lilin.

Karena penasaran aku mulai mewawancarai si tuyul itu satu persatu.

“Kenapa kok kepalanya pada botak? Enggak panas ya?” tanyaku iseng.

“Kami kan sudah disunat tante,” jawab seorang anak.

Ternyata liburan ini dimanfaatkan buat anak-anak kecil ini untuk sunatan. Memang kampungku punya tradisi bahwa setelah anak-anak disunat, rambut mereka harus diplontos habis. Aku pun memuji keberanian mereka berani sunat meski sebaya Ghazi. Aku juga bertanya kenapa mereka tidak mau pakai topi di siang hari yang panas. Jawaban seorang anak bikin ngakak.

“Kata Mamak kalau pake topi rambutnya lama tumbuhnya, hahhahaha,” sontak aku tertawa mendengar jawaban itu.

Kutinggal mereka yang asik bercengkrama sambil menikmati es lilin. Tapi aku menguping obrolan mereka. Anak yang paling besar badannya bertanya dengan salah satu dari mereka.

“Kemarin sakit nggak waktu punya kamu dipotong?” tanya anak itu ke seorang temannya.

“Enggak! Aku enggak ngerasain apa-apa,”

Lalu anak paling kecil nyeletuk. “Rasanya kayak digigit semut merah,”

Anak berbadan besar itu pun bertanya lagi

“Selain sepeda kamu dibelikan apa?”

“Aku dibeliin Robot Tayo. Seru ya kalau kita sunat begini. Dibelikan mainan, aku pun mau di sunat lagi,” kata anak terkecil yang membuat mereka tertawa terbahak-bahak.

Kalau sunat dua kali yang tersisa apa Nak?. Nanti suram masa depanmu. Begitu kataku dalam hati lalu tertawa geli. Kulihat si Ghozi hanya menjadi pendengar saja. Wajahnya terlihat sibuk ke kanan ke kiri memandang dengan serius temannya yang sedang bercerita. Semoga nanti tiba waktunya Ghozi disunat tetap bergembira dan senang seperti teman-temannya.

Rita Melda
Guru PAUD Tenera



Genre:

Tema: