Sartini
“Berapa Bu?,” tanyaku pada ibu penjual sayur.
“Satu Rp3 ribu, kalau dua Rp5 ribu, Mbak,” jawabnya.
Aku sibuk memilih-milih sayuran mana yang mau dibeli, sama halnya dengan ibu-ibu lain yang tak kalah sibuknya. Biasalah emak-emak ketika memilih sayurpun mereka masih sempat merumpi. Aku tidak mengenal mereka satu persatu, yah namanya juga di pasar, tapi lama-lama aku jadi sebal di tengah mereka.
Bukan isi obrolannya yang bikin aku kesal, mereka dengan sadar tidak memakai masker tapi dengan bebasnya ngobrol satu sama lain.Niat hati sih baik, sekadar mengingatkan saja sehingga aku beranikan diri untuk kembali membuka percakapan dengan penjual sayur. Dengan hati-hati dan lembut, aku bertanya kenapa dia tidak memakai masker, biar semua pembeli yang sedang mengobrol itu peka akan pentingnya anjuran kesehatan dari pemerintah.
“Pengap Mbak,” jawab ibu penjual sayur.
“Penting lo Bu untuk antisipasi.”
Tanpa aku duga ibu penjual sayur nyolot.
“Mbak kalau mau beli sayur, beli aja enggak usah ceramah tentang Corona. Corona enggak ada Mbak, nyatanya tempat kita aman saja kok. Repot amat pakai nasihat segala. Mbak lihat enggak sekarang yang ke pasar sudah seperti ninja, cuma mata yang kelihatan, kadang malah pakai kacamata segala. Lebay.”
Emak-emak yang tadinya merumpi membela ibu penjual sayur. Mereka mengarahkan wajah penuh amarah padaku. Mereka bilang Corona itu enggak ada di Bengkulu. Adanya di Jakarta dan saya enggak usah lebay. Ingin sekali aku mendebat mereka tapi pasti tidak akan ada ujungnya kalau bahas Corona. Aku kembalikan semua belanjaan yang sudah aku pilih lalu pergi dari hadapan ibu penjual sayur dan geng rumpi itu. Mereka cuma bengong.
Genre: Nonfiksi
Tema: Covid-19