Orang Dusun di Zaman Analog itu Hebat

Unistri

Saya lahir di desa. Di sana hidup benar-benar sederhana, perut kenyang saja sudah bahagia. Tidak perlu jalan ke mall atau kota lain untuk melepas stress. Seingatku kami tidak pernah memikirkan jalan-jalan ke kota. Orang-orang di desaku sepertinya tahu betul perbedaan keinginan dan kebutuhan.

Di sana cukup lengkap. Tanah lapang untuk bermain, hamparan sawah yang luas dengan udara bersih nan menyejukan, sungai, dan hutan membuat hidup tenteram. Kami tidak kekurangan apapun.

Hidup di desa sebenarnya susah-susah gampang. Beberapa hal butuh perjuangan apalagi ketika zaman analog. Memasak dan menyetrika contohnya. Beda sekali dengan sekarang, di mana kita tinggal menekan tombol, nasi masak sendiri. Mau menyeterika tinggal colok, panasnya datang sendiri.

Zaman dulu, untuk memasak saja kami harus bersusah payah. Kami harus menyalakan api di tungku, kadang menggunakan sabut kelapa yang asapnya bakal mengepul. Badan kita bisa hilang dimakan asap itu hehehe. Itu pun belum muncul apinya. Harus ditambah kayu bakar lalu ditiup sekuat tenaga menggunakan potongan bambu bernama semprong.

Di bulan puasa lebih seru. Mamak bangun jam dua pagi untuk memasak. Penerangan di rumah kami waktu itu hanya lampu canting buatan tangan. Lampu itu dibuat dari kaleng susu yang diisi minyak tanah. Mamak menghidupkan api sekuat tenaga lalu memasak dengan penerangan seadanya. Dari menghidupkan api sampai memasak makan waktu satu jam. Soalnya tiap jam tiga pagi kami dibangunkan makan sahur.

Orang desa di zaman analog memang tiada lawan!!



Genre: Nonfiksi

Tema: Memori