Pahitnya Kehidupan di Usia 13+

Elisabet Tambunan

Dok Wikihow

Aku adalah seorang anak bawang yang baru saja meninggalkan sejuta kepahitan dan sekeping kebahagiaan. Tiga tahun lalu, aku diterima di SMP Tenera dengan absen nomor 9. Ohhh.. sudah remaja saja. Aku senang masuk SMP, pakai seragam putih biru ditemani dasi biru yang perlu aku pelajari selama tiga bulan agar bisa berbentuk segitiga seperti punya Misael. Sudah boleh pegang ponsel sendiri, berburu sama teman-teman, boleh nonton sinetron, boleh menyalakan kompor, terus pas dilarang, aku selalu bilang “kan sudah gede Mak”.

Masa remaja adalah masa terindah Aku buka laptop lalu melihat kembali foto-foto awal masuk SMP. Setiap mimik pose, dan style-ku, sungguh menjijikan. profile, komentar, dan postingan yang aku unggah di Facebook memalukan. Aku jadi teringat momen paling memalukan saat di kelas 8 saat seorang kakak kelas menertawakan aku lalu bertanya, “Dek, habis dudukin cat merah, ya?”. Aku yang tidak tahu apa-apa langsung lari ke rumah, masuk WC dan karena panik lalu bertanya pada mamak ada apa gerangan.

Baperan, ngambekan, lalu labil sama diri sendiri, adalah hal yang paling sering aku alami waktu masuk masa remaja. Senggol sedikit auto marah. Tidak makan bersama teman dimusuhin satu bulan. Sungguh awal remaja yang sangat mengerikan bagiku. Waktu kelas 9 aku bilang pada orang tua mau jadi dokter. Mamak bilang tidak ada uang. Ketika mendengar jawaban itu, aku  marah, menangis, ngambek sampai terlintas dalam pikiran kalau aku adalah anak tiri karena kemauanku tidak dituruti.

Saat ini aku sudah SMA. Aku menyadari banyak hal sekaligus belajar dari kehidupan SMP. Sometimes, i feel like jahat banget si aku waktu itu. Penyesalan pasti terjadi dan hingga kini aku benci awal masa remajaku. Sebagian orang pasti senang, bahagia, bisa merasakan cinta yang bertepuk sebelah tangan, merasakan kebahagian bersama teman, tapi bagiku, masa remaja, adalah masa yang merepotkan orang tua.

Rengekanku pada orang tua agar bisa seperti Maudy Ayunda, mendatangkan tangisan di malam hari, menghabiskan berliter keringat untuk menarik besi di pabrik. Aku benci semua itu, aku benci masa remaja, karena aku tidak bisa dapat uang membantu orang tua. Kadang penyesalan datang sampai membuatku nyaris depresi, stress, dan lain-lain. Tapi sebagai remaja aku tidak mau mengambil jalan pintas. Ini adalah proses kehidupan yang harus aku jalani. 



Genre: Nonfiksi

Tema: memori