Ekawati Siregar
Zaman media sosial yang serba cepat seperti ini melenyapkan waktu berpikir. Jari lebih cepat dari otak ketika melihat atau terlibat langsung dalam sebuah peristiwa. Pendekar jempol di media sosial saat ini jauh lebih banyak daripada tukang pikir dan buat saya kondisi itu mengerikan. Orang cepat menghakimi berdasar asumsi saja. Tidak baik untuk diri sendiri.
Saya pernah mengalaminya sendiri, bagaimana asumsi-asumsi menciptakan banyak gosip yang bikin hidup tak tenang. Awal tahun 2021 Kota Bengkulu dihebohkan dengan bau pandan di banyak kecamatan. Kehebohan itu pun menyita gosip artis di media sosial yang biasanya menemani para netizen setiap hari. Sebagian besar unggahan di media sosial lebih percaya bahwa bau pandan itu berhubungan kuat dengan mistis. Ada juga yang bilang pandan itu tanda kuntilanak sedang mendekat.
Aku mencari informasi yang masuk akal agar tidak ikut resah karena gosip klenik yang sudah kadung menyebar itu. Dari banyak informasi yang aku telusuri di internet, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Bengkulu menyatakan bau pandang itu berasal dari tanaman kantong semar yang banyak tumbuh di kawasan rawa Taman Wisata Alam (TWA) Danau Dendam Tak Sudah. Aromanya menguat karena mereka sedang berbunga serempak dalam jumlah banyak sehingga mirip sekali dengan bau pandan.
Saya memercayai pernyataan dari BKSDA Bengkulu karena pasti melewati penelitian, ada data bukan asumsi yang dipakai. Tapi gara-gara aroma pandan itu ingatan saya menuju beberapa tahun ke belakang. Saya pernah di posisi orang-orang malas, enggan mencari kebenaran dan selalu menghubungkannya dengan klenik.
Beberapa tahun yang lalu kami baru menempati rumah baru. Rumah yang kami bangun dengan kerja keras itu sederhana saja, tidak besar tapi tidak kecil juga. Tetangga kami hanya semak-semak yang belum sempat dibersihkan. Suatu hari kami bersama dua keponakan sedang ngobrol santai di teras rumah. Obrolan hangat kami dipotong wangi melati yang tiba-tiba menusuk hidung. “Paling ada hantu di semak-semak sana yang mau ikut ngobrol bareng kita,” celoteh keponakanku.
Bau melati itu tiap hari datang dan bikin suasana rumah mencekam. Aku jadi ketakutan sampai tidak berani ke kamar mandi. Pikiran aneh memenuhi kepalaku hingga bikin kami was-was dan tegang di rumah sendiri. Segera aku minta suamiku bikin selamatan rumah agar bau itu menyingkir lalu disetujui. Hampir semua keluarga kami undang termasuk abang suamiku. Ketika dia sampai aku langsung ceritakan wangi melati yang datang setiap hari. Dia malah tertawa terbahak-bahak.
“Coba lihat pohon sawit di pekarangan rumah kalian. Sedang berbunga kan? Biasanya sawit kalau sedang bersemi itu mengeluarkan bau harum. Aku sudah 30 tahun bekerja sama pohon sawit jadi tahu betul aktivitas mereka,” jawab abang suamiku lalu melanjutkan tawa.
Sejak saat itulah aku bertekad tidak ingin menjadi pemalas yang menerima informasi tanpa mengeceknya terlebih dahulu. Aku bertekad juga enggan jadi pendekar jempol di Medsos yang menghakimi dengan jari tanpa berpikir lebih dulu.
Genre: Nonfiksi
Tema: Media Sosial