Pentas Seni: Hari Terburuk dalam Hidupku

Sheri

Dok /static.vecteezy.com

Pagi itu aku berangkat sekolah dengan gelisah. Entah sudah berapa kali aku membetulkan rok kebayaku dalam mobil sekolah. Kegelisahanku tak senyap meski teman-temanku menenangkan hatiku dengan bilang, “kamu cantik kok, pasti bisa.” Hari itu aku memang harus menari dan menyanyi di pentas seni sekolah.

Dibanding teman-temanku yang lain aku termasuk payah melakukan dua hal itu. Gerakanku tak segemulai teman-teman yang lain. Suaraku juga tak bagus-bagus amat. Dalam mobil sekolah aku sempat tanya temanku, apa dia sudah hapal gerak dan lirik yang akan ditampilkan. Jujur saja aku ingin mendengar jawaban yang menenangkan seperti, “aduh aku tidak begitu hapal.” Tentu saja agar aku tak merasa sendiri.

Begitu pentas seni dimulai keringat mengucur deras membasahi tubuhku. Tanganku dingin seperti mayat. Dengan sekuat tenaga aku menyeret badan ke arah Bu Eka, guru kami. “Bu, boleh tanya enggak?” kataku dengan nada cemas yang tak susah ditangkap.

“Pasti boleh lah, ada apa?”
“Eh, enggak jadi deng,” jawabku lalu kembali ke tempat duduk.

Aku takut dan baru kali itu aku merasakan cemas sebesar itu. Padahal aku perempuan yang tak pernah takut terhadap apapun. Tiba-tiba bayangan masa lalu, tentang keberanian yang aku punyai datang. Bayangan itu membuatku memotivasi diri sendiri. Tepat ketika aku sudah bisa mengatur napas, kami dipanggil naik ke atas panggung.

Mulailah musik berbunyi lalu aku ikuti kata hatiku. Aku tidak mau berpikir apa-apa dan tanpa aku sadari musik berhenti. Akhirnya aku bisa melewati hari terburuk dalam hidupku.



Genre: Nonfiksi

Tema: Memori