Swadesta Aria Wasesa
Tema memori menempati posisi teratas di kalangan penulis sejak Nyalanya lepas landas. Cerita masa lalu berhamburan. Tentang desa tempat penulis dilahirkan lalu dibesarkan, cinta masa remaja, orangtua, perjalanan hidup sebelum menetap sekaligus bekerja di Agricinal, dan lain-lain.
Memindah memori ke tulisan sebenarnya cukup sulit karena ingatan terbagi ke banyak fragmen. Tidak ada yang utuh, artinya proyeksi yang muncul di kepala tidak mungkin sama persis dengan peristiwa di masa lampau. Sebab hidup disusun dari banyak ingatan yang menumpuk sehingga melahirkan banyak distorsi.
Nah, dalam psikologi apa yang dilakukan kawan-kawan penulis itu disebut retrival atau upaya mengeluarkan tiap peristiwa yang berhubungan dengan masa kini bahkan masa depan. Tulisan Bekti Satiani tentang perjuangan kakeknya selama masa kolonial disebut proses Recognize, yaitu pengenalan informasi yang pernah disimpan melalui petunjuk seperti jejak pada ingatan orang lain.
Sementara tulisan-tulisan lain macam Bu Lidya tentang cinta dan pernikahan dalam sepotong tempe disebut Redintegrative yaitu proses mengingat tentang cerita yang panjang. Proses ini lebih kompleks karena memaksa kepala memindai suatu peristiwa dengan runtut agar cerita yang dipaparkan kronikal.
Kembali mengelupasi memori adalah pekerjaan yang cukup sulit karena tiap penulis akan menemui banyak kecenderungan. Bukan tidak mungkin menemukan fragmen menyakitkan yang rasa pedihnya kembali menjalar ke seluruh tubuh. Bisa juga menemukan titik balik: setelah melewati peristiwa tertentu, ada proses kelahiran kembali yang membentuk penulis hari ini. Entah itu cenderung baik atau buruk, titik balik kehidupan tidak bicara tentang sesuatu yang sifatnya ontologis seperti itu.
Titik balik dalam kehidupan saya terjadi saat berusia 16 tahun. Waktu itu tahun 2005, saya kelas 2 SMA dan sudah bekerja sebagai penyiar radio. Di Kalimantan Selatan, khususnya kota Banjarbaru, hanya ada dua radio swasta yakni SAS FM dan Borneo FM kala itu. SAS FM lebih dulu muncul, kalau tidak salah tahun 2001 sedangkan Borneo FM tahun 2002. Dua radio itu kerap bersaing mendapatkan pendengar dengan membuat program untuk anak muda.
Radio-radio baru juga tumbuh di Martapura, kota yang berjarak sekitar tiga kilometer dari pusat kota Banjarbaru (Lapangan Murjani), dan Banjarmasin. Kebetulan tahun 2005 itu seorang penyiar Borneo FM pindah ke radio Martapura. Borneo FM buka lowongan penyiar untuk program musik charts (semacam tangga musik begitu) dan tentang anak sekolah. Saya mendaftar lalu hari berikutnya dipanggil wawancara. Saya lolos dan magang selama dua bulan lebih dulu sebelum resmi menjadi penyiar. Pas magang saya memakai nama cunguy, moniker saya di kawan-kawan sepermainan.
Genre: Nonfiksi
Tema: Memori