Juni Anita Purba
Ramadan tahun ini terasa berbeda dari tahun lalu. Sebab tahun ini pertama kalinya aku menjalankan ibadah puasa. Berat rasanya melewati setengah hari tanpa makan dan minum. Belum penuh satu hari, aku hampir menyerah namun Bu Solikhah menguatkan aku.
“Harus kuat, bulatkan tekad dan niat,” nasihatnya. Kemudian aku pun kembali berpuasa.”
Dua hari puasa tiba tiba asam lambung naik padahal pola makan sudah teratur sejak sahur. Setelah aku pikir-pikir, bukan aktivitas selama Ramadan penyebabnya melainkan psikologis. Seminggu sebelum puasa gelombang cobaan menghantam tubuhku. Belum lama setelah mertuaku meninggal, adik iparku menyusul setelah menjalani operasi sesar.
Hatiku hancur berkeping-keping, apalagi setelah mendengar kabar bahwa keponakanku yang baru lahir itu tak ada yang mau merawa. Dengan hati dan tekad kuat, aku memberanikan diri untuk mengadopsinya. Aku berharap, bisa menjaga keponakanku dengan baik, memberi kasih sayang yang sama untuknya seperti anak kandungku.
Di tengah cobaan yang datang bertubi-tubi, aku berdoa pada Tuhan agar diberi kekuatan, ketegaran, dan lapang dada menerima semua ini. Aku juga mulai belajar bersyukur di tengah hantaman masalah. Perlahan tubuhku tidak kacau lagi, tanpa diobati asam lambungku tidak terasa lagi. Rupanya hati yang gembira adalah obat yang diperlukan semua manusia.
Genre: Nonfiksi
Tema: Keluarga