Dwi Ardiyanti
Jam empat subuh aku terbangun. Hari masih gelap. Mungkin lampu akan terlambat dihidupkan. Anak dan sumiku masih pulas. Lima menit berlalu aku bergegas ke kamar mandi, buang air kemudian mencuci beras. Sepuluh menit kemudian lampu hidup. Sayur tak perlu dimasak karena sorenya sudah dipanasi. Aku ambil segenggam beras, memasakan nasi si buah hati. Hari ini sayurnya wortel dan tahu.
Sambil mengaduk masakan aku melamun memikirkan seseorang yang jauh disana, seorang wanita yang mulai menua, Ibuku. Seperti inilah rutinitasnya dulu pikirku. Dalam sekali aku tenggelam dalam lamunanku hingga akhirnya buyar oleh tangis anakku. Aku kembali ke kamar setengah berlari. Anakku terbangun. Ku goyang tubuh suamiku lalu kuminta dia menggantikan mengaduk masakan untuk Ey, anakku. Seperti sudah hapal, suamiku segera bergegas ke dapur.
Aku kembali ke anakku yang minta disusui. Setelah mengelap air matanya dan kembali membaringkannya, aku ketiduran. Mataku memang masih sangat mengantuk sekali. Entah berapa kali terbangun karena si baby minta disusui. Setengan jam berlalu Ey kembali pulas.
Aku bergegas lagi menyiapkan bajunya, masak air panas untuk membuat teh, menyiapkan sarapan, mencuci piring, menyapu, dan lain-lain. Suamiku sudah mandi dan bersiap rapat pagi di kantornya. Dalam hitungan menit semua pekerjaan rumah di dapur selesai (padahal saat masih lajang aktivitas ini nyaris tidak ku lakukan). Baru juga merasakan segarnya air pagi, Ey kembali merengek saat aku mandi. Aku percepat mandi, pakai baju, lalu mengambil Ey dari gendongan Papanya.
Aku sarapan dengan teh yang hampir dingin. Mengunyah cepat roti dari koperasi sambil menggendong Ey. Makan berdiri sudah biasa aku lakukan. Aku berharap bisa diantar sekolah pagi sekali, tidak harus ikut mobil sekolah yang kadang goyang ke sana ke mari (kebayang kan repotnya sambil gendong anak dengan membawa tas bayi dan perlengkapan sekolah).
Saat suami selesai rapat pertama, Si Ey malah BAB. Tangisnya pecah ke mana-mana, karenanya aku tidak jadi diantar naik mobil sekolah karena saat membasuh pup Ey, mobil telah berangkat. Kembali ku ingat Ibu, mungkin ini yang pernah dirasakannya terlambat pergi kerja, diomelin bos.
Setelah Ey bersih, suamiku yang sepertinya sudah selesai rapat pagi kembali ke rumah. Aku sangka dia akan mengantar ku, eh ternyata dia pun mau BAB. Aakkkhhhh, kapan aku berangkat kerja kalau begini?. Si Ey mulai merengek lagi karena masih mengantuk, sambil ku gendong kususui dia dalam kain gendongan. Ey tertidur. Suami selesai dan akhirnya aku berangkat ke sekolah.
Anak-anak PAUD Tenera sudah menunggu di halaman sekolah. Tas mereka sudah rapi di tempatnya. Ada yang menyapu, mencabut rumput, menyiram bunga, dan memungut sampah. Senyum sapa mereka setiap pagi selalu membuat ku semangat. Setelah meletakkan peralatan sekolah di kelas, membatu menyapu kemudian pergi ke tempat penitipan Si Ey, yahhh Ey aku titipkan dekat sekolah.
Aku mengajar anak tetapi aku menitipkan anak (kembali teringat ibuku). Itupun terkadang penuh drama, isak tangis Ey yang tidak mau berpisah denganku. Begitulah rutinitasku yang setiap menit dan dan detiknya berharap sekolah bisa dipindahkan dekat rumah agar tidak selalu tergesa-gesa. Biar tidak dikejar waktu setiap pagi.
Dwi Ardiyanti
Guru PAUD Tenera
Genre:
Tema: