Di sebuah perkebunan Bengkulu Utara hiduplah sepasang suami-istri. Mereka sangat miskin. Harta mereka hanya seekor Sapi milik Sang Suami dan anak perempuan semata wayang baik hati bernama Alin. Sang suami sangat menyayangi sapi dan anaknya. Sedangkan Sang Istri tidak mau tahu tentang sapi suaminya itu. Dia tidak mau merawatnya. Lebih baik merawat putri mereka daripada sapi. Begitu kata Sang Istri saat melihat suaminya sedang memakani Sapi.
Singkat waktu Sang Suami meninggal. Saat meninggal si Sapi juga pergi entah ke mana karena tidak pernah dirawat Sang Istri. Tinggalah Istri dan putrinya di rumah. Si anak perempuan jadi satu-satunya tulang punggung keluarga dengan bekerja di kebun mereka sendiri. Sedangkan Sang Ibu sudah tidak begitu kuat kerja di kebun.
Suatu pagi, Alin sedang menguto berondolan keris* (tanaman khas Bengkulu) pengganti kayu bakar di pinggiran hutan dekat kebun mereka. Sewaktu asik mengutip* dia melihat seekor sapi mengamuk. Alin bertanya-tanya sapi siapakah itu yang mengamuk di pagi hari. Alin merasa kasihan karena si Sapi membenturkan kepala berulang kali ke pohon. Alin memberanikan diri mendekati Sapi itu lalu berusaha menenangkannya.
“Brughh!!!”
Badan Alin terlempar ke pohon besar setelah Si Sapi menyeruduknya. Niat baiknya dibayar nyawa. Seorang pemetik ranting yang melihat kejadian itu segera membawa jasad Alin ke rumahnya. Ibu Alin yang sedang memetik sayuran di kebun terkejut ketika si pemetik ranting datang membawa jasad anaknya. Diberitahukanlah bahwa anaknya meninggal karena diseruduk seekor Sapi. Si Ibu memangis sejadi-jadinya. Tinggallah ia seorang diri di dunia ini. Tidak ada lagi yang menemaninya memetik sayuran tiap panen dan memijitnya ketika hendak tidur. Ibunya sangat bersedih dan terus menangisi anaknya sampai dikubur.
Kematian Alin menimbulkan kebencian Sang Ibu pada Si Sapi. Apalagi dulu ia juga tidak suka dengan Sapi suaminya. Si Ibu mau menuntut tanggung jawab si Sapi itu. Sang Ibu mendapat kabar kalau Sapi yang membunuh anaknya itu adalah milik seorang mandor di perkebunan. Datanglah Sang Ibu ke rumah mandor itu dan langsung berteriak memanggil Si Mandor.
“Hey kau yang punya Sapi pembunuh, keluar kau! Keluar Kau! Teriak Sang Ibu berulang kali.
Para anak buah mandor langsung mengepung Ibu dan menanyakan apa maksudnya teriak-teriak di rumah orang. Si Ibu itu menjawab dengan suara lantang sehingga si Mandor yang mengintip dari balik pintu rumah keluar juga. Dia iba pada Sang Ibu yang tertimpa musibah.
“Itu memang sapiku, sudah beberapa tahun aku memeliharanya karena dia sering duduk di bawah pohon di perkebunanku. Sebelumnya dia sapi liar. Kematian anakmu bukan tanggung jawabmu karena sudah beberapa hari Sapi tidak pulang ke kandang. Tapi baiklah, akan kusuruh anak buahku mencarinya dan membawa ke sini agar diadili,” jawab Sang Mandor.
Dicarilah sapi itu oleh anak buah Sang Mandor. Sampai berminggu-minggu, mereka tidak bisa menemukan ke mana si Sapi pergi. Mereka pun kembali ke rumah mandor dengan wajah kecewa saat petang. Tapi, ketika sampai ke perkebunan, anak buah mandor melihat si Sapi sedang duduk di bawah pohon besar milik di kebun. Mereka langsung mendatangi si Sapi itu.
“Hay Sapi! Kaukah yang membunuh Alin, anak Ibu yang miskin itu?”
Sapi mengangguk dan langsung dibawa ke penanggungjawab yang sudah menunggu di rumah si mandor. Lalu dipanggilah si Ibu itu ke rumah. Tidak beberapa lama Sang Ibu datang dengan wajah marah. Tapi, apa yang terjadi? Si Sapi malah dilepas oleh penanggung jawab karena dianggap tidak sengaja menyeruduk Alin. Makin marahlah Ibu itu pada Si Sapi. Diambilnya pisau yang disembunyikan di balik pakaiannya lalu mau mendekati si Sapi. Tapi perbuatannya langsung ditahan para anak buah mandor yang lalu membopongnya pulang ke rumah.
Sang Ibu menangis sejadi-jadinya ketika sampai di rumah. Ia lalu tertidur karena capek.
Kokok ayam membangunkan Sang Ibu dari tidur. Dia pergi ke dapur dengan langkah gontai Peristiwa tadi malam masih membayang di kepalanya. Ketika sampai di dapur, dia melihat di sebelah tungku ada sayuran segar dan uang menumpuk. Dikuceknya matanya lalu ditampar-tampar pipinya. Dikiranya dia sedang mimpi. Dia bertanya-tanya siapa yang menaruh sayuran segar dan uang di dapurnya. Tapi akhirnya diambilnya juga meski ragu-ragu.
Di pagi berikutnya, Sang Ibu menemui hal yang sama. Sayuran segar dan uang menumpuk di samping tungku. Sang Ibu makin penasaran lalu dia memutuskan akan begadang malam harinya untuk melihat siapa orang baik yang peduli padanya.
Ketika malam datang. Sang Ibu sudah menunggu di balik gorden yang memisahkan ruang tidurnya dan dapur. Ia mulai mengintip. Terdengarlah suara langkah kaki dari luar pintu dapur. Ia terkejut ketika sosok yang mampu membuka pintu dapur itu bukan manusia, melankan, Sapi!! Ternyata sapi itu yang selama ini membawakan sayuran segar dan uang. Setelah meletakkan uang dan sayuran, Ibu itu langsung mendatangi Si Sapi.
“Kenapa kau melakukan semua ini?” tanya Sang Ibu
“Mooooo”
“Apakah karena kau merasa bersalah dan ini sebagai bentuk permintaan maaf?”
“Moooo” Sapi itu tiba-tiba menghilang.
Kebaikan Sapi itu membuat Sang Ibu sedih. Kebaikan itu meluluhkan dendam yang selama ini dipendam. Uang yang diberikan sapi itu pun dipakai Ibu untuk membuka usaha warung di pasar. Lama-lama usahanya sukses dan Sang Ibu menjadi kaya. Sang Ibu juga sering berbagi rejeki dengan orang-orang tidak mampu. Namun Sang Ibu sudah tidak pernah melihat sapi itu lagi hingga akhir hayatnya.
Rosa Amanda Saragih, Kelas IV SD
Genre:
Tema: