Satu Tempe Dua Hari, Romantisme Pernikahan di Pinggir Desa

Lidya W

Dok Wikihow

Hai para pembaca, perkenalkan saya seorang ibu muda. Ibu dari satu orang anak yang sekarang berusia sembilan tahun. Umur saya terbilang masih sangat muda. Saya kelahiran 1995, memutuskan menikah muda itu karena suatu hal yang ketika dipikirkan kembali bisa dibilang hal yang lucu. Biar saya bebas ke mana-mana.

Ya, karena orangtua saya sangat disiplin pada anak-anak mereka sehingga kami benar-benar tidak boleh ke mana-mana tanpa ditemani. Jadi, waktu itu saya berpikir memang harus menikah agar bebas jalan-jalan  seperto teman-teman saya. Bisa ke pantai, main di pasar malam, atau acara pesta tanpa memikirkan apa yang akan terjadi setelah pernikahan.

Suami saya saat itu terbilang muda juga, baru lulus SMA. Kami juga sama-sama belum berpengalaman dalam bekerja. Tahun 2011 kami memutuskan menikah dan lucunya sebelum akad pernikahan, saya dan ibu pergi ke rumah dokter untuk suntik KB. Ibu takut saya belum mengerti tentang bayi karena masih mau diurus seperti bayi hahaha.

Dua hari setelah saya dan suami pergi merantau. Kami sudah sepakat tidak mau merepotkan orangtua walau menikah muda. Kami pergi ke PT Tunggang, yang masih satu cabang dengan PT Agricinal. Kami menumpang di rumah kakak. Suami bekerja sebagai seorang perawat kebun dengan gaji Rp32 ribu per hari. Saya sangat bahagia meski semua apa adanya.

Satu bulan kemudian kami pindah rumah atau kem. Kemnya seadanya, sederhana. Lantainya tanah, tempat tidurnya papan. Diberi kakak tikar selembar dan bantal satu untuk berdua tetapi buat saya romantis (maklum pengantin baru). Saya waktu itu belum mengerti masak karena sebelum menikah tidak pernah masak. Waktu menumpang di kem kakak pun dia yang masak. Di kem yang baru saya masak di tungku karena belum punya uang untuk beli kompor.

Pagi hari suami saya mau berangkat kerja. Saya kebingungan karena biasanya kakak yang sediakan bontot (bekal) untuk suami. Saya pun memasak nasi di tungku. Karena bosan menunggu api, saya ketiduran. Baru bangun ketika tercium bau gosong. Alhasil suami tidak makan sampai siang. Kejadian itu saya ceritakan pada kakak. Dia datang lalu mengajari saya masak setiap hari. Sekarang saya sudah pandai memasak.

Kami tidak bisa ke mana-mana ketika musim hujan. Jalan di sekitar kem sangat becek dan sulit dilewati. Jadi, kalau sayuran habis kami terpaksa makan apa saja seperti daun ubi, ubi tua, dan ubi jalar.

Lima bulan berlalu. Suami dapat tawaran kerja di perusahaan batu bara di Desa Air Ulam. Kami pindah ke sana tetapi kondisinya lebih buruk dari Tunggang. Di sana tidak ada listrik dan sinyal. Di saya tidak bisa menabung, gaji suami habis untuk foya-foya saja. Sampai akhirnya saya hamil, telat KB karena rumah bidan sangat jauh dan jalannya lebih jelek dari kem Tunggang.

Waktu berlalu, tibalah hari melahirkan. Saya melahirkan di Rumah Sakit (RS) Bengkulu Tiara. Saya terpaksa dibawa ke sana karena posisi anak saya melintang dalam kandungan.

Ketika anak saya berusia empat bulan, perusahaan batu bara tutup sehingga suami tidak punya pekerjaan. Padahal saat itu kami benar-benar tidak punya tabungan. Seorang saudara menyarankan agar kami kerja di PT Agricinal lagi. Suami saya melamar lalu diterima di Afdeling XI sebagai pemanen. Kami segera berangkat ke Agricinal dan tinggal di Afdeling XI yang dibangun khusus untuk karyawan.

Begitu banyak cibiran terhadap keluarga kami saat memasuki tiga tahun pernikahan. Tentang suami yang sudah tiga tahun berumah tangga tetapi tidak punya apa-apa. Hanya sebuah motor yang kami punya, itu pun pemberian orangtua sebelum menikah. Kami sepakat ingin membuktikan bisa membeli motor dengan uang jerih payah sendiri.

Suami bekerja lebih keras, kami pun sangat irit agar bisa menabung. Satu tempe untuk dua hari sudah biasa bagi kami. Ayam atau ikan tidak pernah singgah ke mulut kami padahal saat itu kondisinya saya masih mengandung.

Tak selang lama akhirnya kami bisa membeli motor yang kami idamkan. Namun bukan itu hal yang pokok, yang terpenting adalah kami bisa membeli kebutuhan dengan uang sendiri. Bukan meminjam pada orangtua atau hutang bank, atau pinjol. Dengan bangganya suami saya bilang, akhirnya bisa membeli dengan uang sendiri.

Kami memutuskan untuk membangun gubuk kecil setelah satu tahun bekerja di PT Agricinal. Selain suami saya juga ikut menabung sedikir demi sedikit. Hasil pengiritan, cibir tetangga tetapi akhirnya selesai juga. Meski kecil dan berada di area perkebunan, rumah itu adalah tempat mengatur rencana untuk masa depan. Demi cinta dan masa depan anak-anak kita, kata suami. Aw romantis..

Tiga tahun berlalu. Sata menyekolahkan anak di sekolah swasta terbaik di Bengkulu Utara (Tenera). Suami masih tetap jadi pemanen, yah maklum kan ijazahnya hanya sampai SMA Hahahaha. Terus saya juga ikut bekerja di bagian perawatan perkebunan agar tabungan kami tambah banyak.

Sudah tujuh tahun kami bekerja di Agricinal. Menjadi ibu dari seorang anak yang sudah bersekolah sekaligus pekerja bukan hal mudah. Saya harus bangun jam empat pagi. Masak untuk sarapan anak dan suami lalu membangunkan mereka dari mimpi indah. Setelah memastikan semua kebutuhan terpenuhi saya bekerja menebas hutan. Meski berbadan mungil, saya cukup kuat mengangkat hasil tebasan yang beratnya cukup wow itu.

Susah senang kami nikmati sama-sama. Kami pikirkan jalan keluar dari kesulitan sama-sama. Apapun itu kami ubah semua jadi berkah. Cibiran tak perlu dibalas kata-kata atau air mata. Demi keluarga, masa depan anak, Shopie, dan Lazada kita memang harus bekerja keras bukan? Wahahaha.



Genre: Nonfiksi

Tema: Rumah Tangga