Sopandu Manurung
Melatih musik tradisional Batak di Sekolah Tenera merupakan pengalaman menarik sekaligus berkesan. Terlibat langsung melatih musik Batak juga menjadi kesempatan berharga pengalaman bermusik saya secara pribadi. Selain aktif mengambil bagian menjadi pemusik dalam berbagai kegiatan upacara adat Batak, berbagi pengetahuan melalui pelatihan adalah salah satu upaya untuk menjaga tradisi musik Batak sehingga lestari dan berkesinambungan.
Saya pernah berpemikiran bahwa untuk mau terlibat langsung melatih musik Batak, saya harus “sejago” maestro musik Batak yang saya idolakan. Akan tetapi, pikiran itu waktu demi waktu kemudian berubah karena berbagai alasan. Saya melihat banyak musisi Batak yang hebat tidak punya ‘pewaris’, meninggal dunia tanpa generasi yang meneruskan kehebatannya. Kondisi itu melahirkan ketakutan besar bagi saya apalagi ketika melihat generasi muda saat ini lebih menyukai musik barat dibanding musik tradisional yang memuat banyak identitas di dalamnya. Keadaan-keadaan ini membuat saya berpikir kembali bahwa tak perlu menunggu sampai kita sehebat para maestro untuk berpartisipasi melestarikan musik Batak. Sependek dan sejauh apa pun pengetahuan kita tentang musik Batak, janganlah kiranya berhenti hanya untuk diri kita saja.
Sejauh pengamatan saya, kesadaran dalam diri generasi saat ini untuk mengulik atau mencari tahu tentang kebudayaan lokal, khususnya musik tradisional Batak masih jauh panggang dari api. Dengan kata lain masih jauh dari harapan. Oleh sebab itu, diperlukan pemantik sekaligus pelecut untuk melahirkan kesadaran pikir bahwa musik tradisional tak kalah hebat dengan musik barat atau musik apapun yang membuat mereka merasa keren saat memainkannya.
Pikiran saya kerap berkecambah ke mana-mana. Dari satu pertanyaan ke pertanyaan lain beserta beragam asumsi. Mengapa generasi muda tidak begitu tertarik dengan musik tradisional dan mengapa? Jangan-jangan ada juga yang ingin belajar, tetapi tak ada yang mengajari atau malah sebaliknya. Apakah musisi-musisi hebat Batak yang saya kenal mempunyai pertanyaan yang sama? Yang jelas sampai saat ini pertanyaan-pertanyaan ini masih mendekam.
Saya pernah menilai buruk sebuah lagu populer. Setelah mendengar secara utuh tiga sampai empat kali saya merasa heran, lagu gak enak begini bisa disukai banyak orang. Namun, pendapat saya itu berubah setelah berulang kali mendengarkan lagu itu, baik secara sengaja atau tidak sengaja. Singkat cerita, saya merasa lagu tersebut memang bagus. Dari situ muncul keyakinan bahwa lagu apapun itu termasuk musik tradisional Batak akan disukai ketika sering diperdengarkan, dengan kata lain dipopulerkan.
Dari kegelisahan itu saya pernah berniat membuat pelatihan musik Batak gratis di Jogja. Semakin masuk akal karena saya memiliki beberapa alat musik Batak termasuk taganing yang cukup jarang dijumpai di wilayah Jogja. Sayangnya, sampai saat ini niat itu belum terealisasi karena satu dan lain hal seperti belum menemukan tempat yang ideal. Kendati demikian, saya yakin kelak akan terealisasi karena punya tanggung jawab moral, untuk berbagi apa saja tentang musik Batak.
Saat itu ada seorang teman mencari rekomendasi pembelian alat musik Batak untuk Sekolah Tenera. Awalnya Saya cukup kaget karena Bengkulu Utara bukanlah daerah orang Batak. Saya terkesan dan sangat mengapresiasi hal tersebut. Sebelum membeli alat, saya menyarankan agar terlebih dahulu mencari orang yang bisa melatih musik Batak di sana.
Saya khawatir alat musik tersebut hanya menjadi properti atau pajangan karena tidak ada yang melatih atau yang memainkan sebagaimana mestinya. Kurang lebih dua bulan mereka mencari sosok yang mau melatih musik Batak di Bengkulu Utara. Saya ikut membantu, mencari tahu dari jejaring pemusik Batak yang saya kenal tetapi tidak membuahkan hasil.
“Bila penting kita kirim nanti dari Jogja pelatihnya,” ujar teman itu. Buat saya kalimat itu mengagetkan sehingga tidak punya alasan lagi untuk menunda. Saya segera menghubungi perajin alat musik Batak yang saya kenal baik.
Singkat cerita, dipesanlah seperangkat uning-uningan yang terdiri dari taganing, hasapi, garantung, ogung, dan hasapi. Pertanyaan berikutnya adalah siapa yang akan dikirim untuk melatih ke Sekolah Tenera. Pada saat yang bersamaan, saat itu saya dan beberapa teman baru membentuk kolektif bernama Kawan Pustaka di Jogja. Oleh karena itu, saya masih kurang yakin bisa terlibat langsung ke sana karena sedang membangun kolektif tersebut.
Namun, saya tidak terlalu khawatir karena punya beberapa teman di Jogja yang cukup mumpuni melatih musik Batak. Namun setelah melalui berbagai pertimbangan akhirnya saya yang dipercaya melatih musik Batak di Sekolah Tenera. Saya segera membayangkan puluhan orang bahkan lebih, bersentuhan langsung dengan musik Batak di Sekolah Tenera.
Tanggal 26 Oktober 2022 saya berangkat dari Jogja lalu tiba di Bengkulu Utara sekitar jam sebelas malam. Setibanya di sana, saya di sambut dua orang: Andika, guru sekaligus pemusik tradisional Bengkulu yang antusis dengan alat musik perkusi, Daniel Simanjuntak seorang guru matematika yang juga bisa bermain musik.
Kami segera akrab. Percakapan kami tidak sebatas basa-basi orang yang baru pertama bertemu. Saya merasa topik obrolan kami bisa langsung nyambung plus menyenangkan karena sama-sama suka musik. Kami menghabiskan kurang lebih dua jam berbincang-bincang sebelum tidur. Paginya, saya dan Andika mengecek alat musik Batak yang baru saja tiba di gedung SD Tenera yang berjarak hanya sekitar 300 meter dari tempat menginap.
Semua alat dalam kondisi bagus, tidak ada yang rusak begitu juga kualitas bunyinya sama seperti yang saya bayangkan. Pada saat saya membunyikan taganing dengan pola sederhana, Andika mengamati dengan serius sambil menirukannya dengan gerakan tangan. Saya mengulangi pola tersebut dengan perlahan lalu mempersilakan Andika memukulnya.
Tidak sampai lima menit dia bisa menirukan pukulan sederhana tersebut. Tidak heran karena Andika mengambil mayor perkusi semasa kuliah di ISI Padang Panjang. Saya merasa cukup lega karena Andika pasti bisa meneruskan pelatihan di Sekolah Tenera ketika saya kembali ke Jogja.
Untuk mempertebal kemesraan dengan Andika dan Daniel, saya mengajak ngopi di kafe sekitar kecamatan Putri Hijau. Mereka membawa saya ke Red Kafe, sekitar 30 menit dari Sekolah Tenera. Kami membincangkan banyak hal tentang dunia musik dan juga pengalaman-pengalaman satu sama lain untuk saling mengenal lebih dekat hingga larut malam.
Saya bertanya banyak hal tentang musik tradisional Bengkulu kepada Andika. Tampaknya kami berada di posisi yang sama, ingin terlibat langsung melestarikan musik tradisional daerah masing-masing dalam kondisi yang cukup memprihatinkan seperti sekarang ini. Saya juga bertanya tentang kultur Sekolah Tenera pada Daniel Simanjuntak . Beliau baru mengajar kurang lebih tiga bulan di sana. Di tengah perbincangan kami, saya teringat abang saya yang nomor empat. Dia berdomisili di Bengkulu tepatnya di Mukomuko. Saya lalu menelepon untuk bertanya seberapa jauh dari tempatnya ke Sekolah Tenera yang ternyata hanya dua setengah jam perjalanan.
Sekian detik usai menutup telepon, seseorang yang duduk di samping meja kami menyapa dengan bahasa Batak. Mungkin dia memperhatikan percakapan saya dan abang yang menggunakan bahasa Batak. Sebagaimana orang Batak pada umumnya ketika baru bertemu, kami langsung martarombo (bertutur) satu sama lain.
Beliau marga Gultom. Ibu dan istrinya, Manurung, satu marga dengan Saya. Fakta itu membuat kami terasa lebih dekat. Saya menceritakan perihal kedatangan untuk melatih musik Batak dalam beberapa waktu ke depan di Sekolah Tenera. Beliau juga menceritakan bahwa dia adalah seorang penganut Parmalim (kepercayaan yang menjadi garda terdepan dalam menjaga tradisi orang Batak). Satu hal yang membuat saya terkesan ternyata nenek beliau merupakan keponakan dari pimpinan tertinggi pertama Parmalim yang merupakan panglima dari Pahlawan tanah Batak Sisingamangaraja XII.
Kedatangan Saya bertepatan dengan rangkaian acara Bulan Bahasa, agenda tahunan Sekolah Tenera. Saya diminta tampil sekaligus memperkenalkan diri di puncak acara. Mengingat belum tahu akan membawakan komposisi apa, saya terinspirasi dari percakapan di Red Kafe dengan Lae marga Gultom tentang Sisingamangaraja. Saya memutuskan membawakan lagu Aek Sibulbulon yang mengisahkan gugurnya Sisingamangaraja XII dalam pertempuran melawan Belanda yang menjajah tanah Batak.
Puncak Bulan Bahasa juga bertepatan dengan Sumpah Pemuda sehingga timbul keinginan untuk menyampaikan pesan terhadap generasi muda agar bersatu menjaga dan memperjuangkan tradisi dan budaya yang semakin hari kalah populer dengan budaya Barat.
Sebelum membawakan lagu tersebut, saya terlebih dahulu memperkenalkan diri dan membabar pesan penuh telengas untuk membakar semangat semua yang hadir, termasuk tim.
Singkat cerita, tibalah saatnya bertemu tim yang akan saya latih bermain uning-uningan Batak. Ada tiga kelompok yang terdiri dari tim SD Tenera, SMA Tenera, dan guru Tenera. Saya berbagi dengan tim SD Tenera lebih dulu. Sembilan tahun lalu, saya pernah melatih anak-anak dari Kabupaten Samosir yang mewakili Sumatera Utara dalam ajang “Festival Nasional Musik Tradisi Anak-Anak” yang diselenggarakan Kemendikbud di Jakarta. Secara teknis mereka sudah punya dasar dalam memainkan uning-uningan bahkan tim Samosir telah memilih delapan anak yang paling piawai memainkan alat musik Batak saat itu.Tantangannya lebih pada konsep agar membuat pertunjukan menarik di mata juri saat itu.
Berbeda dengan tim yang saya latih di Sekolah Tenera. Mereka memang orang Batak tetapi sudah tak fasih berbahasa Batak dan jarang mendengarkan uning-uningan karena lama tinggal di Bengkulu Utara. Saya menyebut proses latihan ini bukan memulai dari nol lagi tetapi memulai dari minus.
Situasi itu menjadi tantangan besar. Saya mengaduk pikiran, mencari cara paling cocok untuk mereka. Pada pertemuan pertama dengan tim SD Tenera, saya membagi mereka sesuai ketertarikannya dengan alat musik. Persis dengan bayangan sebelumnya, alat musik yang paling disukai adalah taganing dan garantung. Secara visual memang kedua alat musik ini cukup menarik. Saya terpaksa mengeluarkan jurus lain agar mereka mau dan tertarik dengan alat musik lainnya seperti sulim, hasapi, ogung dan hesek.
Butuh waktu yang lama untuk memilih siapa yang memainkan masing-masing alat untuk menjadi satu tim uning-uningan SD Tenera. Saya memperagakan teknik permainan yang paling sederhana di tiap alat musik sehingga mudah mereka tiru. Dari situ saya akan tahu siapa saja yang masuk ke tim uning-uningan SD Tenera untuk latihan intensif selama dua minggu. Tim SD Tenera antusias, semua ingin ikut terlibat.
Namun, karena waktunya terbatas saya harus memilih beberapa orang saja yang minimal bisa membawakan satu repertoar untuk ditampilkan di agenda tahunan lainnya: Agricinal Pelangiku di akhir bulan November dan Ulang Tahun PT Agricinal yang menaungi Sekolah Tenera tanggal 14 Desember 2022. Dari sekian banyak yang antusias Saya melihat hanya 12 orang yang memungkinkan “berlatih kilat” membawakan satu repertoar dalam waktu dua minggu. Ada empat pemain ogung, satu hesek, dan dua pemain untuk taganing, garantung, hasapi, dan sulim.
Sebenarnya ada 10 sulim yang tersedia tetapi karena beberapa pertimbangan hanya dua yang saya yakin bisa mengikuti – lagipula setiap instrumen sudah terwakili untuk formasi ensambel uning-uningan. Namun saya memberi kesempatan kepada adik-adik yang mau berlatih alat musik apa saja yang mereka suka di luar formasi yang akan difokuskan berlatih untuk penampilan yang telah dipersiapkan. Pengurus juga saya sarankan untuk membiarkan alat musik bisa diakses selama tidak mengganggu kegiatan akademis.
Komposisi yang saya latih adalah lagu Taridem-idem, lagu Batak populer yang mudah dihapalkan. Menurut saya, 12 adik-adik SD Tenera cukup cepat menangkap. Tantangannya adalah fokus mereka yang mudah teralihkan. Saat memberikan materi kepada pemain sulim, player lainnya membunyikan alat musik di depannya, tak keruan.
Namanya juga anak-anak, butuh kesabaran tinggi ketika mengajar sekaligus menemukan cara untuk mempelajari suasana hati dan karakter masing-masing anak. Memisahkan setiap instrumen cukup membantu mengurangi kebisingan yang mengganggu fokus mereka. Selain itu, saya juga mengiming-imingi akan memberikan ilmu baru bagi yang cepat menyerap materi yang saya berikan. Cara itu cukup berhasil.
Taganing, sulim, dan hasapi ende menurut Saya adalah alat musik yang relatif sulit dilatih dibanding garantung, ogung dan hesek. Dua pemain taganing, Chelo dan Felo termasuk yang paling cepat menangkap materi latihan. Dika dan Deryl di sulim butuh waktu yang lebih karena mereka membawa melodi utama. Saya memperbolehkan mereka membawa sulim pulang ke rumah. Saya yakin paling tidak mereka akan membunyikannya lebih dari 10 kali selama di rumah sehingga tiupan tambah stabil.
Hasapi yang paling sulit. Awalnya saya hanya mengajarkan pola ritmis hasapi doal saja karena hanya membawakan pola yang repetitif. Namun, saat melihat Qirel yang kerap mencoba memainkan melodi utama, saya akhirnya melatihnya di luar jam yang telah dijadwalkan. Reza di hesekcukup aman karena hanya memainkan pola metronom (sesuai tempo agar musik stabil). Saya harus merayunya agar sedikit aktraktif untuk menghidupkan suasana ketika tampil nanti.
Marta dan Vani juga cukup aman di garantung. Demikian halnya Michael, Yosafat, Marisa dan Dhea di ogung meski ibu dari Dhea bercerita bahwa putrinya pernah menangis seharian karena tidak main garantung. Mendengar cerita itu, saya segera menenangkan Dhea lalu berjanji akan mengajarkan main garantung.
Satu peristiwa yang tak kalah berkesan terjadi saat Michael yang terpilih memainkan ogung datang menunjukkan sulim hasil bikinanya sendiri. Saya cukup kaget dan senang, antusiasme sangat layak diapresiasi. Saya memperbaiki beberapa bagian dalam sulim bikinannya. Saya jadi kepikiran workshop cara membuat sulim di sana meskipun belum terealisasi karena satu dan lain hal.
Pertemuan demi pertemuan berjalan dengan baik meski menghadapi anak di tingkat SD tidak mudah. Suatu ketika, mereka sangat sulit diarahkan. Saya kehabisan akal lalu sedikit mengancam mereka, tidak jadi tampil. Seorang anak menimpalinya dengan jawaban paling telengas: Oke Bang, tidak usah. Saya cukup kaget dengan jawaban menohok itu. Kalau saya tegur nanti anak ini bisa-bisa merajuk dan benaran tak mau ikut lagi, begitu perkataan saya dalam hati.
Untuk kembali mencairkan suasana saya menjanjikan setelah satu putaran lagu langsung pulang. Selain itu, saya juga mencoba mengakrabkan diri dengan si anak tadi di luar latihan supaya dia merasa nyaman dan tidak bosan berlatih. Setelah dua minggu berlalu, Bu Santi, salah sorang pengurus Yayasan Sekolah Tenera menawarkan perpanjangan kontrak kurang lebih selama dua minggu.
Awalnya agak berat menerimanya karena saya ada tujuh acara di Jogja tetapi karena melihat antusias anak-anak dan mulianya ide pelatihan uning-uningan Sekolah Tenera, saya menyetujui tawaran tersebut. Saya kemudian menyiapkan satu repertoar tambahan untuk tim SD dan SMA. Satu untuk ditampilkan di rangkaian acara Agricinal Pelangiku dan satu lagi untuk ditampilkan pada ulang tahun PT Agricinal ke- 40.
Tim SMA punya tantangannya tersendiri. Mereka terdiri dari sembilan orang, satu pemain sulim ditambah masing-masing dua pemain untuk hasapi, garantung, taganing, dan ogung. Saya menyiapkan dua repertoar yaitu Sinanggartullo dan Toba Dream. Saya sengaja memberi materi yang lebih sulit dari tim SD Tenera agar mereka lebih percaya diri. Untuk beberapa alat musik seperti taganing, Chelo dari tim SD relatif lebih cepat menangkap materi. Namun, sudah menjadi tugas saya untuk melatih pola permainan taganing yang lebih sulit.
Menimbang bahwa anak di usia SMA punya sisi psikologisnya sendiri, saya menegur mereka dengan halus ketika sulit diarahkan. Sesekali saya lontarkan lelucon agar tidak terlalu kaku saat berkomunikasi. Saya juga mengakrabi mereka di luar latihan. Ikut bermain sepak bola ketika tidak ada latihan menjadi cara pendekatan yang paling ampuh–di samping saya memang juga menyukai sepak bola. Saking akrabnya, mereka tidak segan menekel saya di atas lapangan. Pendekatan semacam ini membuat komunikasi membaik saat latihan uning-uningan.
Repertoar pertama tim SMA berjudul Sinanggartullo lumayan mudah mereka tangkap. Mungkin karena lagu tersebut sangat terkenal sehingga mereka sudah tidak asing dengan melodi lagunya. Saya memberikan tambahan aransemen yang tidak mudah agar pertunjukan lebih menarik. Berbeda dengan repertoar ke-2, mereka agak sedikit kesulitan karena komposisi aslinya adalah instrumental tanpa vokal.
Sejauh pengalaman saya melatih, untuk pemula memang sebaiknya memberi materi lagu yang ada vokalnya agar mudah dihapal. Saat itu saya memang cukup tertantang mencoba memberi materi repertoar yang sifatnya instrumental. Risikonya sudah saya pikirkan baik-baik.
Tim uningan-uningan ke-3 adalah gabungan dari beberapa guru SD, SMP, dan SMA. Tim ini sebenarnya bisa dibilang skuad hore-hore karena latihannya tidak seperti SD dan SMA. Tiga guru yang paling sering saya latih adalah Andika, Daniel Simanjuntak, dan Martua Manurung. Ketiga guru tersebut memang yang paling cepat menangkap materi. Selain materi teknik, saya juga memberi tahu cara merawat alat musik. Harapannya ketika saya sudah kembali ke Jogja, alat musik tersebut terawat dan ada yang bisa melatih sekaligus mengarahkan anak-anak.
Tidak mau kalah dengan tim SD dan SMA, saya menyemangati tim para guru untuk berlatih satu repertoar untuk ditampilkan di rangkaian acara Agricinal Pelangiku yaitu lagu Tumba Do. Saya tahu guru-guru di sana cukup produktif dan banyak kesibukan dalam mengajar sehingga saya melatih mereka dengan santai tanpa tekanan.
Manis pahitnya proses latihan terbayar lunas ketika menyaksikan penampilan mereka. Semua tim tampil memukau di puncak acara yang ditutup apresiasi dan tepuk tangan meriah penonton itu.
Singkatnya, saya sangat senang melatih di Sekolah Tenera. Mulai dari murid, guru, pengurus yayasan, dan semua yang saya jumpai di sana antusias dengan pelatihan uning-uningan Batak tersebut. Di luar itu, semua orang di sana sangat ramah dan menyambut saya dengan senang hati. Beberapa guru dan orangtua murid suka bercanda lalu membujuk saya agar tinggal di sana.
“Di sini lah kau, gak usah balik ke Jogja, banyaknya di sini boru Batak biar nikah sama boru Batak di sini kau,” bujuk seorang guru.
“Kalau ada boru Batak yang bapaknya punya sawit 5000 hektar boleh juga itu hahaha,” hawab saya lalu kami tertawa terbahak-bahak.
Ada banyak pengalaman lain sebenarnya tetapi untuk sementara biar tulisan ini dulu yang saya bagi tentang keseruan melatih musik tradisi Batak di Sekolah Tenera. Semoga apa yang saya bagikan dalam cerita ini bermanfaat. Tak lupa saya berterima kasih yang tak terhingga pada Yayasan Sekolah Tenera karena sudah mengambil bagian sebagai perpanjangan tangan dan terlibat secara langsung melestarikan uning-uningan Batak. Mauliate … Horas.
Genre: Nonfiksi
Tema: Musik