Betty Marpaung
Mujur tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Maunya dapat durian runtuh eh malah tertimpa tangga. Dua pepatah yang sedikit berkelok itu barangkali bisa menggambarkan kemalanganku di hari Minggu.
Hari Minggu memang libur tapi bukan berarti aku malas-malasan. Aku tetap bangun pagi seperti hari-hari biasanya. Selain mau ke gereja, ada jadwal ke pasar untuk belanja mingguan. Di Sebelat pasar hanya buka hari Rabu dan Minggu. Kalau Rabu biasanya tidak keburu, jadi belanjanya Minggu.
Jam setengah enam pagi aku sudah di jalan, menuju pasar bersama anakku. Jalanan masih cukup gelap dan sepi, belum banyak kendaraan lalu lalang. Pasar juga sepi, tidak seperti hari Rabu. Kami sampai jam enam kurang sedikit. Pasar juga tidak ramai. Kalau sepi begini, pikirku saat itu, pasti aman dari copet dan jambret.
Kami bergegas menuju warung sayur Opung Naga. Setelah membayar kami menuju ke tempat ikan. Kami membeli ikan tun dan sarden. Supaya lebih cepat, saat ikannya dibersihkan penjual kami ke warung ikan air tawar, pesan nila dan lele. Setelah ikannya dipotong-potong saatnya untuk membayar. Wajahku pucat seperti ikan mati karena dompetku tak ada di tas. Sampai aku bongkar tasnya tak aku temukan juga dompetnya. Aku heran karena setelah membayar sayuran tadi, dompetnya sudah aku masukkan tas lagi.
Aku kuasai diriku agar tidak panik di depan anakku. Aku bilang ke penjual ikannya agar menunggu sebentar lalu kami segera kembali ke warung Opung Naga. Biasanya saat hari Minggu selalu ada orang Agricinal yang belanja di sana. Puji Tuhan tebakanku benar, ada tiga orang yang aku kenal di sana, Kak Saur, kawan arisan kami. Aku langsung pinjam uangnya. Tapi karena uangnya pas-pasan uang yang dipinjam hanya cukup untuk membayar ikan saja.
Jadilah kami pulang tanpa uang sepeser pun. Di tengah jalan motorku sedikit oleng. Ya Tuhan, ternyata ban motornya bocor. Sudah tidak punya uang, kebocoran pula, pulanglah kami sambil menuntun motor pelan-pelan. Sial.
Genre: Nonfiksi
Tema: Memori