Ekawati Siregar
Sejak Corona muncul aku sudah tidak pernah lagi menghadiri undangan pernikahan tetangga. Bahkan undangan pesta pernikahan anak dari saudara sendiri dengan berat hati kami tolak. Kami hanya mengikuti acara lamaran ke pihak perempuan lalu kami mengunjungi pengantin ke rumahnya untuk minta maaf atas ketidakhadiran .
Kami tidak hanya mematuhi peraturan yang dibuat PT. Agricinal tetapi juga atas dasar kesadaran sendiri, apalagi sejak meninggalnya sahabat kami. Mengikuti protokol kesehatan adalah wajib sebagai bentuk usaha melindungi diri dan keluarga tercinta.
Alhamdulillah memasuki Birthday ke-2 Corona, aku dan suami sudah mendapatkan vaksin dosis dua. Sedikit lega karena dari informasi yang beredar vaksin bisa memperkecil kemungkinan tertulari. Yang paling mengembirakan lagi peraturan baru dari perusahan kami boleh menghadiri kegiatan keramaian yang berada di dalam provinsi. Artinya sudah boleh menghadiri pesta.
Kebetulan salah seorang tetangga kami yang berjarak sekitar 500 m dari rumah menikahkan anaknya. Acaranya dilaksanakan hari Minggu. Untuk menghindari kerumunan, aku dan suami sepakat berangkat malam hari.
Suasana masih tampak sedikit sepi ketika kami sampai di lokasi pesta. Kami disambut senyuman para penerima tamu. Dengan jalan perlahan-lahan dan senyum manis di balik masker aku membalas senyuman para penerima tamu.
Rasa percaya diri yang anggun itu tiba-tiba menukik karena sandalku putus. Keringat dingin mengucur deras. Aku menyeret kakiku sambil senyum semanis mungkin. Jarak ke kursi yang hanya sekian meter terasa jauh sekali. Waktu juga rasanya berjalan lambat. Hidupku tampak slow motion, menahan malu yang sudah menjalar sampai ujung kaki kelingingku.
“Loh kok bisa?” tanya suamiku heran.
“Nggak tahu, inikan sandalku yang paling mahal. Mungkin bertahun-tahun nggak dipakai jadi rusak,” jawabku.
Suamiku pulang ke rumah untuk mengambil sandal cadangan. Aku tinggal sendirian di pesta. Aku mulai mengatur rona wajahku yang terlihat memerah di cermin bedak. Sambil mnegatur rasa malu, aku buka Hp, pura-pura asyik dengan gambar layar. Padahal aku melirik satu persatu tamu yang hadir. Aku berharap mereka tidak duduk di sampingku, bisa terbongkar nanti rahasiaku. Sedetik terasa satu jam aku menunggu suamiku dengan berdebar-debar.
Genre: Nonfiksi
Tema: Memori