Untuk Sesuatu yang Lebih Besar, Kita Harus Putuskan Pacar Dahulu

Anonim

Akhirnya aku merasakan cinta. Mungkin lebih tepatnya cinta monyet karena aku masih remaja. Jantungku berdegup kencang setiap kali bertemu dia. Kami sering teleponan atau chat sampai lupa waktu. Wajahnya kerap datang, mengantarkan kantuk diikuti mimpi indah setiap malam.

Hubungan itu di luar sepengetahuan orangtua kami. Namun, akhirnya kami ketahuan juga. Suatu malam ibu membuka ponselku. Ibu kesal lalu marah sekali karena membaca pesan-pesanku dengan dia. Ibu kecewa karena aku mengingkari janji untuk tidak pacaran selama sekolah.

Aku memang pernah berjanji demikian. Ibu bilang sekadar suka saja tidak apa-apa asalkan tahu waktu dan batas. Artinya, sekadar berteman saja cukup. Memang sih selama pacaran nilaiku menurun. Prestasi sekolah merosot. Pantas kalau ibu kecewa. Wajah sedih ibu membuatku menyesal.

Sekarang aku ingin fokus pada cita-cita dan masa depanku. Aku tidak mau mengecewakan orangtua lagi. Sulit untuk memilih dalam situasi seperti ini tetapi harus dilakukan meski sakitnya seperti kulit ari yang disayat silet. Namun aku percaya, untuk sesuatu yang lebih besar kita harus mengorbankan perasaan sejenak.



Genre: Nonfiksi

Tema: Cinta