Sekelam Apapun Masa Lalu itu Penting

Rizki Handika

Dok Wikihow

Saya Rizki Handika, sekolah di SMA Tenera. Banyak orang yang lupa masa-masa Taman Kanak-kanak (TK) saat remaja. Saya, bisa dibilang beruntung atau malah sebaliknya, karena mampu mengingatnya dengan jelas. Sebab, saya melewati masa TK dengan rentetan kejadian horor alias tidak menyenangkan. Tapi saya yakin sesakit apapun, masa lalu tetap penting bagi hidup kita hari ini.

Waktu TK, saya sekolah di bangunan yang seperti habis terkena gempa. Lumutnya di mana-mana, membuat mata pedas melihatnya. Saya tidak peduli juga sih dan malah betah karena punya banyak teman dengan beragam sifat yang menyenangkan. 

Pada suatu hari kami kedatangan guru baru yang sangat cantik. Saya cari muka agar diperhatikan olehnya.  Mulai dari berperilaku baik, jaga kebersihan, dan belajar keras biar pintar. Usaha saya tidak sia-sia. Guru itu pun memperhatikan saya, senyumnya membuat hati senang. 

Setelah enam bulan bersama guru di bangunan sekolah berlumut itu akhirnya kami pindah ke TK yang lebih layak. Sangat “layak”. Di sana banyak sekali mainan. Bangunan itu punya tempat bermain yang besar, kamar mandi bersih, kelas wangi dengan meja dan kursi yang bagus. Tapi bangunan yang tampak indah itu rusak parah ketika dihantam badai. 

Ayunan kami diterbangkan jauh-jauh. Ada kawan kami yang kepalanya bocor gara-gara main tidak hati-hati, berlari ke sana-sini, kepalanya terbentur paku yang keluar dari kayu. Kening nya berdarah. Guru-guruku yang cemas itu sampai mencegat motor yang lewat di depan sekolah untuk membawa kawan kami ke puskesmas.

Tak lama dari kejadian itu, kami pergi lomba gambar ke Argamakmur. Saya dan ibu menumpang sepeda motor orang tua teman. Di jalan kami melihat mobil masuk ke jurang, Hidung mobil hancur tak berbentuk. Saya jadi takut naik motor lalu berdoa terus sepanjang jalan. Syukurlah rasa was-was itu hilang setelah saya melihat banyak orang jualan mainan di tempat lomba.

Tak lama kemudian, lomba dimulai.  Saya mulai menempel kapas ke gambar. Ibu memberi semangat dari jendela, membuat saya semakin bersemangat lalu menyelesaikan karya dengan cepat. Tapi ternyata kalah cepat dengan murid TK lain. 

Perasaan tak nyaman seperti yang pernah saya rasakan ketika melihat mobil masuk jurang kembali datang saat pengumuman pemenang. Saya sangat berharap mendapat juara pertama tetapi kenyataannya pahit, masuk tiga besar pun tidak. Perasaan saya berkecamuk, horor. Saya tak berhenti menangis sampai ibu membelikan saya es krim. Rentetan peristiwa itu tidak pernah bisa saya lupakan sampai sebesar sekarang.



Genre: Nonfiksi

Tema: Memori