Perkara Ulang Tahun

Swadesta Aria Wasesa

Dok Otakukart

Hari ini saya merayakan hari kelahiran dengan sepiring orak arik. Adik memasaknya khusus untuk saya. Rasanya enak, seperti masakan ibu. Itulah makanan kesukaan saya sejak kecil. Ibu juga senang memasaknya karena saya pasti memakan sayuran yang dia sembunyikan di balik cacah telur dadar. Ibu memang cerdik.

Beberapa fragmen masa silam tiba-tiba datang saat orak arik itu sisa setengah. Mereka adalah penyesalan sekaligus bukti kebodohan yang pernah membatu.

Saya lupa tahunnya. Waktu itu orang terdekat saya membuat sarapan. Dia masak sambal terong dan telur dadar di dapur kontrakan sekaligus kantor berita yang pernah saya bangun bersama kawan-kawan. Saya dipanggil ke dapur. Wajahnya semringah, mungkin berharap dapat pujian lalu ciuman kecil di pipinya.

Apa yang saya lakukan selanjutnya sungguh jahat. Entah kerasukan setan mana, saya buang terong dan telur itu ke tempat sampah lalu kembali ke ruang kerja. Saya tidak suka sayur. Dalam hitungan menit saya mendengar suara pecahan piring di dapur. Kawan-kawan kontrakan berhamburan ke dapur memastikan apa yang terjadi. Mantan saya murka sekali. Saya tidak pernah lagi melihat wajahnya setelah peristiwa itu. Kami juga tidak pernah baik-baik saja sampai saat ini.

Gambaran ringkas selanjutnya adalah masa kecil. Lagi-lagi dapur. Ibu hanya mampu menghidangkan nasi campur garam untuk merayakan ulang tahun saya yang ke-5. Ayah dan ibu tidak punya uang karena gajian terlambat. Gaji guru sangat kecil kala itu, kami tak pernah makan enak.

Beras yang dimasak ibu sudah kuning karena para guru hanya diberi beras sisa dengan kutu. Mungkin momen ini yang membuat kebencian terhadap orde baru tak memudar sampai hari ini. Ah, orak arik buatan adik saya tiba-tiba jadi asin.

Tiap fragmen tak presisi yang datang malam ini buat saya menjadi istirahat yang nikmat. Mengingatnya membuat saya mengerti bahwa sesal pasti mengantar kearifan sementara dendam menegaskan bahwa ada masa silam tak boleh tanggal begitu saja. Ada hal-hal yang tak boleh dimaafkan.

Oh iya, hari ini @musikjogja juga merayakan kelahiran yang ke-4. Tanggalnya disamakan karena lupa kapan tepatnya saya—Babang Rangga—bikin akun instagram itu. Saya tidak tahu persis berapa banyak laknat atau kutuk yang datang. Kadang laknat itu saya ubah menjadi berkah sebelum menelannya mentah-mentah. Kadang marah tapi hanya bisa mematung sampai lelah.

Seberapa besar dampaknya, apakah terus menjadi sesuatu yang entah atau malah menggetah buat saya tidak tahu. Saya hanya meyakini bahwa apapun yang datang dari kebaikan tidak pernah sia-sia.

Selama empat tahun ini banyak tanya sekaligus penghakiman yang kerap mengecilkan hati. Mereka menanyakan alasan lalu menghakimi apa yang saya lakukan. “Buat apa sih melakukan ini itu lewat akun ini? Enggak ada untungnya, yang ada capek ke sana ke mari. Dicaci iya, yang dapat nama orang lain bukan kamu.”

Ada juga anjuran yang mengesankan macam “Beli followers lah, biar bisa swipe. Saingannya udah masuk belasan ribu. Nanti EO sponsoran yang mau ajak media partner ragu karena followersnya nggak sampai 10 ribu.”

Saya muak dengan kata saingan, kompetisi. Sejak sekolah kita digiring bersaing. Semuanya diukur angka yang menuju ontologis: baik-buruk, bagus-jelek, pintar-bodoh, dan lain-lain. Betapa letihnya menjawab pertanyaan-penghakiman itu. Pada akhirnya saya cuma bisa memahami bahwa tiap tuduhan itu datang dari perjalanan dan pengalaman yang telah terkalkulasi. Lagi-lagi produk tiran.

@musikjogja tidak saya rawat untuk bersaing dengan akun-akun media musik lain. Dia bisa tumbuh di tangan siapa saja. Ambil konsepnya, tak apa-apa. Karena dari sana saya bisa terus berpikir sambil menjalani hidup dengan serangkaian gelombang kejut. Laiknya orak arik, sayur apa di balik cacah telur selalu menjadi misteri. Tugas saya hanya menikmatinya, sesemeleh mungkin.



Genre: Nonfiksi

Tema: Memori