Bunga Amel Simanjuntak
Cahaya matahari bercampur angin pantai yang hangat menyeka pipiku sore itu. Aku tidak pernah merasakan sentuhan yang teramat nikmat seperti ini sebelumnya. Sore itu terasa berbeda, sepertinya alam semesta berupaya menggodaku dan aku memaknai momen itu sebagai berkah di tengah banyaknya kepahitan yang harus aku telan.
Berkah itu tiba-tiba lenyap ketika aku dilemparkan ke desaku. Hari mulai malam saat aku mendadak tiba di sana. Semua orang ketakutan. Aku mengenali mereka. Teman-temanku menangisi tubuh yang tergolek tanpa daya di depan mereka. Aku berlari ke arah teman-temanku tapi tak bisa menyentuh mereka. Gonggong anjing dan sirine ambulans yang lalu lalang mengubah pilu menjadi kengerian yang belum pernah aku alami sebelumnya.
Aku melihat sekeliling. Di mana orang tuaku? Aku berlari pulang ke rumah dengan was-was. Banyak bangunan yang telah rata dengan tanah. Sekolah dan warung-warung yang biasa aku datangi tak lagi berjendela. Aku makin khawatir lalu mempercepat langkah, melawan angin kencang yang dinginnya mulai membuka luka yang belum kering dari lengan dan kakiku.
“Ma, Pa, di mana kalian? Jangan meninggal. Jangan tinggalkan Amel, Tuhan tolong Amel!” Tiba-tiba aku terpelanting menuju tempat yang lain. Tempat itu sangat aku kenal, begitu pula dengan sosok perempuan yang memegang kepalaku.
“Amel, Amel, ayo bangun. Kenapa kamu?” tanya sosok perempuan yang kerap aku panggil mama itu.
Aku langsung memeluknya ketika mataku benar-benar jelas melihat wajahnya. Ibu tampak bingung tapi segera memintaku untuk bangun dan mengantarkannya ke tempat kerja. Sebelum mengantar mama aku mengucap syukur pada Tuhan karena yang aku lihat hanya mimpi. Mama dan keluargaku masih hidup. Sekolah dan warung-warung di sekitar rumahku masih kokoh berdiri.
Namun beberapa bulan kemudian datang kabar buruk dari Wuhan. Sebuah virus menyerang negara itu lalu menyebar ke seluruh permukaan bumi. Mobil ambulans lalu-lalang, kadang menyatu dengan gonggongan anjing yang memilukan. Aku berdoa agar bagian lain dari mimpiku tidak menjadi kenyataan. Cepat sembuh bumiku.
Genre: Nonfiksi
Tema: Covid-19