Konsep Adil Adik Kecilku

Swadesta Aria Wasesa

Dok..Istimewa

Keluarga kami punya cara unik dalam mengajarkan atau menjelaskan sesuatu. Bapak dan Ibu tidak pernah ngomong panjang lebar ketika menjelaskan apa-apa yang kami tanyakan. Mereka sering menjawabnya dengan perbuatan lalu membiarkan kami mendefinisikannya sendiri. Salah satunya adalah konsep dan bagaimana adil itu seharusnya.

Bapak dan Ibu berprofesi guru. Waktu zaman Orde Baru (Orba) guru tidak pernah sejahtera, apalagi di pelosok. Begitu pula keluarga kami di masa Orba berkuasa. Gaji guru kecil sekali. Untuk menyekolahkan dan membeli kebutuhan sekolah bagi anak saja Orang Tuaku kerap berhutang di koperasi. Separuh gaji habis membayar hutang koperasi sekolah. Tiap bulan bisa makan ayam saja sudah sangat bersyukur sekali.

Saya ingat benar waktu kecil dulu kalau meminta uang sangu sekolah harus melakukan sesuatu dulu. Entah itu memijat Bapak yang sering kecapaian setelah jalan kaki dari sekolah ke rumah kontrakan, menyapu rumah sebelum berangkat sekolah, atau bantu Ibu memompa air saat dia mencuci baju. Semakin sering atau lama membantu, mereka akan memberi uang lebih sebelum sekolah. Pernah aku tidak membantu apa-apa di hari Minggu lalu hanya diberi uang Rp100.  Uang itu hanya cukup main dingdong satu kali saja. Sedih..

Begitulah adil yang diajarkan Orang tuaku. Adil itu sesuai kebutuhan. Semakin banyak hal baik yang dilakukan, makin banyak mendapat ganjaran baik pula. Saat kelas Nol Besar, Bapak dan Ibu pernah memberikan jatah daging ayamnya ke piringku sementara mereka hanya makan nasi dengan sayur bayam tanpa lauk. Barangkali mereka berpikir kalau aku lebih membutuhkan ayam itu daripada mereka.

Aku harus berterima kasih pada mereka yang menumbangkan rezim Orba. Kehidupan jadi lebih manusiawi ketika rezim bobrok itu berakhir. Kebetulan juga saat Orba tumbang aku sudah punya Adik. Bapak dan Ibu sudah bisa membeli susu. Makan nasi dengan garam tinggal kenangan pahit. Mereka juga mengajari adikku bagaimana adil itu. Kalau aku dibelikan buku, maka ia juga harus dibelikan. Kalau tidak bisa menangis dia. Bila Bapak mengajari aku naik motor, dia juga harus ikut di belakang kami dengan sepeda kecilnya.

Waktu Adikku kelas 3 SD, dia pernah mendefinisikan konsep adil itu ke kami. Setelah selesai mengajar, Ibu membeli 15 jeruk di Pasar. Sampai di rumah, Adikku menghitung jeruk itu lalu menyuruh kami berkumpul di dapur. Diambilnya seluruh jeruk itu dari lemari penyimpanan lalu dibagikannya ke aku, Ibu, dan Bapak.

“Nah ini, sudah dibagi semua. Masing-masing tiga jeruk. Aku tiga, Kakak 3, Bapak 3, Ibu 3. Sisanya ada dua jeruk, jadi dibuang saja jeruknya biar adil semuanya,” kata Adikku lalu membuang jeruk itu ke tempat sampah.

Ibu dan Bapak tertawa besar melihat kelakuan Adikku membagi jeruk. Kata Adikku, kalau tidak dibuang, nanti Bapak, Ibu, dan Aku akan bertengkar memperebutkan jeruk yang tersisa. Ibu lalu mengambil jeruk di tempat sampah itu lalu mencuci dan mengupasnya. Dua jeruk yang tersisa itu lalu diberikan ke Adikku agar dia membaginya lagi. “Nah, pas kan masing-masing dapat yang sama bagiannya,” kata Yuke yang disambut ciuman dari Bapakku.

Saat sudah remaja, Adikku tidak lagi mendefiniskan adil itu sama rata atau sama banyak. Konsepnya kini seperti yang pernah aku definsikan: sesuai kebutuhan. Ah jadi rindu sekali dengan Adikku.

Tukang Kebun



Genre:

Tema: