Pertanyaan Anak yang Sulit Dijawab

Tri Marcelina Tarigan

Dok.Youtube

Aku memiliki anak perempuan. Dia baru berusia tiga tahun dan sangat “cerewet”. Tak jarang karena keingintahuanya yang tinggi, sering muncul pertanyaan-pertanyaan yang sulit kami jawab.

Waktu itu aku mengambil beras dalam karung. Dia menghampiriku lalu memperhatikan karung beras.”Ma, lihat! Ini beras kita ada gambar jempolnya. Berarti beras kita hebat!” serunya dengan riang. Dia merasa bangga karena telah memakan nasi dari beras yang hebat.

Tiga minggu kemudian kami kehabisan beras. Uang bulanan pun menipis. Bersyukur ada koperasi di Agricinal yang selalu bisa kami andalkan di saat keadaan miris. Kami pun mengebon beras di sana. Saat aku membuka kemasan karung beras tersebut untuk kupindahkan ke baskom, anakku memperhatikan karung itu dengan curiga.

“Ma, kenapa berasnya enggak ada gambar jempolnya? Ini bukan beras hebat, Ma!!”

Dia terlihat kecewa. Aku jelaskan bahwa jempol itu hanya gambar. Namun dia tidak terima terus mogok makan karena takut tidak jadi anak hebat lagi. Hari itu berakhir dengan satu kebohongan kalau berasnya sudah kami ganti dengan beras andalannya. Biar dia mau makan.

Aku juga pernah kewalahan dengan pertanyaannya saat sarapan. Waktu itu aku menyuapinya makan supaya lekas habis. Namun tiba-tiba adiknya rewel hingga harus aku gendong. Aku menyuruhnya untuk makan sendiri, tapi hampir lima menit baru satu suapan yang masuk ke mulutnya. Dia malah asyik main dokter-dokteran.

“Kak, ayo makan, nanti nasinya nangis lho!”

Aku berharap anakku memiliki rasa empati terhadap makannya dan mau memakannya sampai habis. Namun aku salah. Dia balik menyerangku dengan pertanyaan-pertanyaan membunuh.

“Kenapa nasinya nangis? Apa dia punya mata?? Bohong mama, enggak ada pun airmatanya!! Telur sama sayurnya gak nangis juga?? Gitu lah.. gak boleh cengeng kayak telur sama sayur!!”.

Mendengar jawabannya, aku cuma bisa geleng kepala lalu pergi meninggalkannya yang masih asyik main dokter-dokteran.



Genre: Nonfiksi

Tema: Keluarga