Bertahan Hidup Itu Sulit, Jenderal

Susiana Pasaribu

Namaku Susiana, biasa dipanggil Mbak Susi. Aku adalah perempuan kelahiran 1979 dan Puji Tuhan sampai saat ini masih diizinkan untuk bisa berkumpul dengan suami dan keempat anak perempuanku. Dahulu aku hanya hidup bersama dengan ibu dan dua adik laki-lakiku karena ayah meninggal saat kami kecil.

Bertahan HidupD
Dok.Wikihow

Hidup kami tanpa ayah sangat berat. Ibuku harus bekerja keras menghidupi anak-anaknya dan melunasi hutang ayah. Semasa hidup ayah gemar penjudi. Semua harta yang kami miliki terpaksa dijual untuk melunasi hutang-hutang ayah. Setelah beres kami merantau ke Bengkulu memulai hidup baru.

Ibu mulai bekerja di kebun sebagai penebas. Sepulang bekerja dia menanam sayuran di samping rumah untuk dijual ke tetangga. Tak jarang juga ibuku membawa beberapa ikat pakis untuk dijual atau sekadar menambah kenikmatan makan bersama.

Lama-lama beban ibu semakin berat aku lihat. Dia mengurus, menafkahi, dan menyekolahkan tiga anak seorang diri. Hatiku sakit melihatnya banting tulang, nyaris tak ada waktu istirahat. Akhirnya aku memutuskan berhenti sekolah padahal sudah masuk kelas 6 yang sebentar lagi mau ke SMP. Pada saat itu aku yang sangat suka sekolah terpaksa berhenti demi membantu ibu menyekolahkan adik- adikku. Awalnya ibuku menentang keputusanku, namun setelah berdebat panjang ia mengalah.

Aku mulai bekerja dan semua mimpiku tentang sekolah harus dikubur dalam-dalam, semua demi adik-adikku. Namun sejak itu dalam hati aku tanamkan bahwa anak-anakku kelak tidak boleh bernasib sama tak perduli apapun rintangannya. Saat itu aku bekerja apa saja, dari menjaga toko, menjaga warung nasi sampai menjadi penebas.

Aku bertemu dengan seorang pria lalu menerima pinangannya di umurku yang masih 15 tahun. Sebagai anak seorang janda dan tidak sekolah lagi, bukan sebuah hal aneh kalau menikah muda. Setahun menikah aku melahirkan anak pertamaku, dua tahun kemudian adiknya menyusul.

Saat mempunyai dua anak, suamiku sering pergi meninggkalkan kami untuk mencari nafkah. Tiap dua minggu satu kali dia baru pulang. Maklum saja, transportasi sangat susah pada saat itu. Aku yang baru berusia 18 tahun harus mengurus kedua anakku sendiri tentu merupakan hal yang sulit. Namun aku beruntung karena ibu selalu membantuku.

Empat tahun kemudian aku melahirkan anak ketiga. Lagi-lagi suamiku dipindah tugas ke tempat yang jauh. Mempunyai 3 orang anak dengan gaji suami yang tidak seberapa membuat kami hidup sangat sederhana. Anak-anak sudah mulai masuk sekolah namun penghasilan suami masih kurang sehingga aku juga ikut mencari nafkah.

Aku menjual semua barang berharga lalu menggunakannya untuk kredit motor. Dengan motor itu aku tarik gerobak berisi Lotek, lontong, soto, cendol, dan gorengan keliling kampung. Anakku bergantian ikut jualan. Mereka turut merasakan sakitnya melewati koral, debu, kepanasan, dan kehujanan. Masih kuingat dengan jelas perjuanganku menjajakan jualanku pada saat itu, semuanya karena aku ingin anakku tetap sekolah. Hampir lima tahun aku berjualan keliling afdeling rezeki makin deras apalagi saat aku berjualan di dekat halte.

Tak lama setelah berjualan di halte aku melahirkan anak keempat. Setelah melahirkan aku berhenti berjualan selama beberapa bulan dan hanya mengandalkan gaji suami. Akupun mulai merasa kesulitan finansial, akhirnya aku memutuskan untuk berjualan kembali lalu menyewa pengasuh untuk menjaga anakku yang masih 4 bulan pada saat itu. Semangat jualanku tak lain adalah demi masa depan anak-anakku.

Sebagian dari hasil jualan aku tabung untuk kuliah mereka. Sejak kecil, anak-anakku sudah kuajarkan untuk hidup susah. Aku tidak pernah memberi uang jajan kepada mereka, namun kuganti dengan menyiapkan bontot setiap hari. Aku beruntung anak-anakku sadar diri dan paham akan keadaannya, mereka sering mengumpulkan botol-botol bekas ataupun mengumpulkan besi-besi dan paku karatan untuk dijual ke tukang
rongsokan demi mendapat uang.

Sesekali aku membelikan anakku bila es. Meskipun tidak memberikan uang jajan, aku selalu mengusahakan memberikan apa yang mereka butuhkan untuk sekolah mereka, seperti handphone, laptop dan lainnya. Setelah berjualan selama lebih dari 10 tahun di halte, aku diminta untuk berhenti karena tempat itu bakal diubah sebagai tempat anak-anak sekolah menungggu mobil jemputan. Dengan berat hati aku mengangkat semua lemari beserta meja jualanku.

Aku sempat depres. Bagaimana bisa mencukupi kebutuhan keluarga bila berhenti jualan apalagi anak pertama masih kuliah. Aku memutuskan menyulap rumah menjadi lapak jualan. Meskipun hasilnya tak seberapa, namun lebih baik daripada tidak sama sekali, setidaknya bisa membantu mengirim uang bulanan anakku yang sedang kuliah di kota.

Puji Tuhan anak pertamaku sudah tamat kuliah dan mendapat gelar sarjana, dan saat ini bekerja sebagai guru di SMA Tenera. Anak keduaku sedang mengerjakan skripsi, anak ketigaku tahun ini akan masuk kuliah dan diterima di Universitas Internasional Batam dan bungsuku saat ini
sedang kelas 5 SD.

Satu mimpiku sudah terwujud, masih ada 3 lagi anakku yang harus aku perjuangkan sekolahnya. Masih aku ingat dengan jelas semua perjuanganku, jerih payahku. Berjualan ke sana-sini, begadang setiap hari menyiapkan apa yang akan dijual esok hari, belum lagi cemooh yang meremehkanku saat menjual lontong. Namun semua dengan ikhlas aku lakukan agar anak-anakku bisa sarjana, tidak seperti ibunya yang bahkan tidak tamat SD.



Genre: Nonfiksi

Tema: memori