Tahun Ini Mereka Bebas dari Bu Rita Melda

Tonggo

Peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Republik Indonesia (RI) ke-75 tinggal menghitung hari. Tiap tahunnya perayaan kemerdekaan di Tenera selalu meriah. Dua minggu sebelum acara puncak semua guru dan murid Tenera pasti super sibuk. Latihan Paskibra, paduan suara, serta persiapan lomba-lomba yang biasanya diadakan setelah selesai upacara. Namun pandemi membuat perayaan kemerdekaan tak semeriah tahun-tahun sebelumnya. Ada tradisi yang hilang padahal saya sangat menikmatinya karena bisa melihat penderitaan teman-teman sesama guru.

Dok FB Ritae Melda

Sekolah Tenera punya tradisi membuat drama kolosal pada acara-acara tertentu, termasuk peringatan HUT RI ini.Temanya seputar perjuangan, tentang bagaimana pahlawan merebut kemerdekaan. Pemerannya adalah guru-guru yang sudah lolos seleksi dan casting.

Saya selalu jadi sutradara bersama lawan seperjuangan Bu Rita Melda. Sejujurnya saya menikmati tugas sutradara bukan karena pandai menyusun konsep, agar tidak ikut berakting saja. Maklum saya mengidap sindrom gugup. Jadi saat dilihat orang banyak itu langsung cemas tak berdaya macam ikan lele yang makan tajur.

Saya bilang lawan karena kami tidak pernah akur saat bikin naskah. Kami beradu ide sampai panas. Tapi gagasan saya sering dimentahkan. Saya mau drama yang dipentaskan melankolis tapi langsung ditekel Bu Rita, ia masukan ke karung, diikat, lalu dihanyutkan ke sungai. Begitulah nasib ide saya di tangan rekan kerja beranak dua ini. Tapi saya sangat menikmati proses diskusi dengan Bu Rita yang punya level kekejaman nyaris menyamai Rita Repulsa.

Di kepalanya, para guru harus total berakting. Mereka wajib hancur-hancuran, minimal berguling-guling di lapangan dengan memakai kostum zaman dulu dan harus ada adegan penyiksaan. Katanya sih demi mengenang jasa-jasa para pahlawan, jadi pada saat tampil harus maksimal.

Saya kasihan dengan wajah-wajah ketakutan para guru saat latihan dengan Bu Rita. Mungkin dalam hati mereka berharap lalu menyusun doa agar Bu Rita sakit gigi sampai tanggal 17 Agustus biar konsep ceritanya diganti.

Pak Anggi, Teguh, dan Mustahidin langganan korban adegan penyiksaan. Mereka memang cocok sih memerankan korban karena wajah jelata rekan saya itu sangat natural. Pak Anggi pernah protes, dia tidak mau berperan sebagai pejuang Indonesia karena akan menghadapi adegan penyiksaan yang luar biasa kejamnya. Bu Rita mengganti perannya menjadi penjajah.

Pak Anggi sangat senang karena dia akan membalas Pak Wiwin yang sering menjadi penyiksa. Namun ternyata Bu Rita membalik skenario pertunjukkan, kala itu penjajah yang disiksa pejuang. Sungguh terlalu, dia menambah panjang catatan penyiksaan Pak Anggi.

Tahun ini tidak ada upacara bendera di sekolah. Pertunjukan drama juga ditiadakan. Seperti harapan semua orang, semoga pandemi Covid-19 ini cepat berlalu agar perayaan HUT RI kembali semarak. Semoga Bu Rita dibukakan pintu hatinya agar tidak ada Pak Anggi Pak Anggi yang lainnya Hahahaha.



Genre: Nonfiksi

Tema: Kemerdekaan