Kehidupan Pahit Mama

Angeli Mastiur

Mengingat 14 tahun lalu, seorang wanita melahirkanku yang sekarang bagaikan sahabatku sendiri. Dia berjuang mempertaruhkan nyawa untuk anak pertamanya, merelakan darah, air mata, dan keringatnya. Mamaku adalah wanita baja yang berhati kapas.

Dok. Film Kartini

Mamaku anak ketiga dari enam bersaudara. Mamaku sering dipanggil Keli, karena katanya mamaku termasuk orang yang paling cantik di antara saudara-saudaranya. Cantik saja tidak menjamin kebahagiaan dalam hidup mamaku. Mulai dari kecil mama sudah merasakan kerasnya kehidupan. Waktu kecil mama tidak seperti anak di pedesaan pada umumnya yang pulang sekolah langsung ke sawah. Sejak duduk di bangku SD mamaku sudah mendapat tanggung jawab membersihkan rumah.

Saat adik mamaku lahir bertambahlah tanggung jawabnya. Dia harus mengurus adiknya. Mamaku juga setiap hari harus mengangkat air untuk mengisi penuh bak mandi (drum) dari sumber air yang jaraknya jauh. Semua adik-adik mamaku cowok. Di dalam adat batak, anak cowok itu sangat berharga karena itu opung sangat menyayangi mereka. Mamaku harus selalu menerima sengatan rotan di badannya jika opungku mendengar adik mama menangis. Hampir setiap hari mamaku terima sengatan itu.

Tetapi mamaku tidak pernah mengeluh. Mamaku juga rela makan sisa makanan adik-adiknya daripada tidak makan sama sekali. Adik mamaku nakal-nakal sekali. Tetapi jika mereka melakukan kesalahan, tetap saja mamaku yang harus menerima kesalahannya.

Saat SMA mama tidak tinggal dengan opung. Jauh dari opung yang sering melimpahkan kemarahan ke mama tidak serta merta membuatnya bahagia. Saat mama nge-kos kebetulan ibu kosnya adalah kepala sekolah SMA-nya. Selama SMA mamaku tidak pernah pergi kesekolah, bukan bolos maupun kabur tapi dijadikan pembantu rumah tangga. Mamaku selalu bangun jam empat pagi. Mulai hari dengan memasak, mencuci piring, dan membereskan rumah.

Pekerjaan itu harus selesai sebelum ibu kosnya bangun. Jika ibu kos dan anak-anaknya bangun mama harus mengurus mereka. Mulai dari memandikan, membereskan buku-buku, menyiapakan bekal, hingga menyuapi anak-anak ibu kos tersebut saat sarapan. Saat mereka semua sudah pergi ke sekolah, barulah mamaku mengisi perutnya dengan makanan seadanya. Pernah mamaku sarapan hanya menggunakan air putih saja, karena semua makanan telah habis.

Selesai makan mamaku harus mulai mencuci baju dalam dua ember besar di sumur yang jaraknya lumayan jauh dari rumah ibu kos. Selesai mencuci baju mama harus kembali ke sumur mengambil air untuk memenuhi bak mandi. Jika pekerjaan itu sudah selesai semua, barulah mamaku mandi. Tetapi mama harus mandi di sumur, tidak diperbolehkan di kamar mandi rumah. Saat malam hari, mamaku rela begadang hanya untuk menggosok pakaian yang setiap harinya tidak pernah habis.

Itulah yang harus mamaku lakukan setiap harinya. Jika mamaku tidak melakukan semua pekerjaan itu dengan baik, maka mamaku akan merasakan sengatan sapu mendarat di badan seperti yang opung lakukan lalu tidak bisa mendapatkan rapotnya. Ya mamaku harus melakukan itu semua demi bisa mengambil rapot dan ijazah. Menyedihkan, memang tetapi itu harus dilakukan mamaku. Tetapi selama mamaku nge-kos opungku tidak tahu kalau mamaku tidak pernah sekolah.

Sekaranglah mamaku mulai merasa menyesal atau semua yang pernah dialami mamaku. Mamaku selalu berandai-andai cobak mama dulu belajar bagus-bagus, pasti mama sekarang tidak seperti ini. Maka dari itulah aku mau belajar dari kesalahan mamaku.

Aku tidak mau menyianyiakan kesempatan belajar seperti saat ini. Karena kata mama kesempatan itu tidak datang dua kali dan pendidikan itu sangat penting untuk masa depan kita, meskipun pendidikan tidak menjamin 100% kesuksesan kita.



Genre: Fiksi and Nonfiksi

Tema: Memori