Sapi Kuntet Bernama Boncel

Apriyani Juwita

Dok.Static.Pulsk

Gaes, namaku Apriyani Juwita, anak bungsu dari dua bersaudara. Kakakku perempuan, namanya Desi Ratna Juwita. Kami sangat mirip gaes, tapi aku lebih tinggi karena menurun dari bapak. Perutku terbuat dari karet, mau makan satu baskom juga enggak bisa gendut. Beda sama kakak yang gampang gendut kalau kebanyakan makan.

Nah mungkin karena tubuhku lebih banyak DNA bapak, aku lebih dekat dengan dia daripada ibuku. Bisa dibilang aku ini bukan anak mama, tapi anak bapak. Dan anehnya bapak juga begitu, sedikit-sedikit ke aku. Memancing mengajakku, nyari cicak juga mengajakku. Mencari sapi pun tak pernah minta kakak menemaninya, selalu aku.

Aku dan bapak memang punya banyak kesamaan lain. Kami suka sapi. Waktu awal pindah ke Agricinal, bapak mengkredit sapi di peternakan. Sapi jantan berkulit hitam dengan tanduk ngeri itu kami beri nama Boncel, sesuai dengan bentuk fisiknya yang kecil tapi montok. Boncel itu awalnya liar banget, disentuh saja enggak mau pasti berontak. Namun lama-lama Boncel menurut dengan bapak. Boncel juga jinak sama aku. Tapi enggak pernah bisa dekat dengan kakak.

Suatu senja Boncel belum juga pulang ke kandang. Bapak minta aku menemaninya mencari sapi kesayangan itu. Kami berputar-putar Afdeling, dari lahan ke lahan tapi tidak ketemu juga. Saat kami pulang, eh Boncel sudah ada di kandang dengan rombongan betina. Pas kami masukin kandang dia enggak mau, kata bapak dia lagi birahi. Terpaksa kami masukin Boncel ke kandang sapi betina.

Hari berganti bulan lalu tahun, pertumbuhan Boncel semakin bagus. Badannya besar dan tanduknya makin menyeramkan. Sayangnya Boncel ini suka berkelahi, entah apa sebabnya kami juga enggak tahu. Akhirnya bapak menjualnya karena Boncel semakin liar. Sedih juga sih kehilangan Boncel, tapi namanya DNA ya, aku satu pemikiran dengan bapak.



Genre: Nonfiksi

Tema: Keluarga