Pura-Pura Ceria di Rumah Bung Karno

Ekawati Siregar

Dok. Instagram @presidensukarno

Liburan semester tahun ini aku mengunjungi kost anakku di kota Bengkulu, sekalian refreshing. Sebenarnya tujuan utama ke Bengkulu itu untuk melihat langsung keadaan anak semata wayang dan silaturahmi dengan Bu kosnya. Aku dan suami sepakat menyewa mobil dan mengajak dua keponakan ikut serta. Sesekali menyenangkan keponakan, pikirku.

Agenda pun diatur. Dua keponakan berstatus milenial campur tangan merancang jadwal perjalanan. Pokoknya sehari di kota Bengkulu harus dimanfaatkan sebaik-baiknya. Karena masih pandemi aku bawa satu kotak masker berstandar kesehatan dalam tasku.

Kami berangkat dari Putri Hijau pukul 10.00 WIB, sampai Bengkulu jam satu siang. Setelah selesai shalat Zuhur aku buka pesan masuk di grup WA. Ada kebijakan baru dari Tenera bahwa karyawan yang bepergian ke kota Bengkulu harus tes rapid. Aku khawatir seandainya hasilnya reaktif karena akan mendapat beban mental walau yang aku pahami reaktif itu belum tentu positif Corona.

Akhirnya demi kegembiraan anak, suami, dan keponakan aku bermain sandiwara dengan berakting ceria sepanjang hari.

Tujuan pertama adalah Benteng Marlborough. Kebetulan benteng ini letaknya dekat dengan kost anakku. Setelah selfie di gerbang masuk, kami mengelilingi ruangan benteng. Banyak tulisan sejarah ketika Inggris menguasai Bengkulu. Kami selfie di depan penjara tua yang tampak masih kokoh dan terawat.

“Kita fotonya candid saja,” ajak salah seorang keponakan. Aku tidak terlalu paham apa itu candid. Tapi ya sudah menurut sajalah.

Setelah puas mengelilingi benteng Marlborough kami bergerak menuju rumah Bung Karno di Jalan Anggut Atas. Aku masih was-was tapi terus menutupinya di depan orang-orang terkasih yang antusias saat sampai di rumah Bung Karno.

Kursi tamu yang diatur rapi bersama Sepeda Ontel pemandangan pertama yang kami lihat di sana. Memasuki kamar tidur, kami melihat dengan ranjang besi kokoh di tengah ruangan. Rasa cemasku tiba-tiba berganti ketakjuban. Aku membayangkan Bung Karno dengan wajah lelahnya berbaring. Di sanalah proklamator besar itu memetik mimpinya tengah malam. Mungkin di sana pula Bung Karno menyusun teks pidato yang membakar semangat rakyat sambil menahan gigil.

Kami beralih ke bagian belakang. Di sana ada sumur yang menurut kepercayaan sebagian orang siapa yang cuci muka di sumur itu akan mendapat jodoh. Dua keponakanku yang masih jomblo pun berebut membasuh muka. Siapa tahu keluar dari sana langsung dapat jodoh. Perjalanan berakhir pantai panjang, ikon kota Bengkulu. Sampai di sana hari sudah mulai gelap. Kami hanya sempat selfie sebentar di tulisan “Pantai Panjang”.

Lama-lama aku tidak bisa menyembunyikan kekhawatiran. Saat kondisi lemas sekaligus mumet memikirkan kebijakan Rapid tadi aku buka lagi pesan di grup WA saat di kos anakku, siapa tahu ada kebijakan terbaru. Dan, Alhamdulillah …… ada pesan masuk yang menyatakan karyawan yang wajib tes rapid adalah mereka yang menginap tiga hari atau lebih di luar kota. Lenyaplah semua kegalauanku, wajahku kembali ceria 100 persen, kala itu asli, tidak palsu seperti saat jalan-jalan.



Genre: Nonfiksi

Tema: Sejarah