Patah Hati Terbesar Remaja Perempuan

Adinda Ayudhia

Dok. Nocookie.net

Tiga tahun yang lalu, aku kehilangan orang tersayang. Dia adalah nenek, orang yang paling dekat sejak aku kecil. Dia seperti ibu keduaku. Aku dekat sekali dengan nenek, mungkin aku cucu perempuan tersayangnya. Nenek tempatku mengadu setelah aku dinakalin. Nenek sering mendongeng, kisah-kisahnya mengantarkanku tidur di pangkuannya.

Kami suka membuat bolu dan makanan rumahan yang biasa nenek buat. Aku akui nenek jago memasak dan masakannya selalu enak. Nenek suka membelikanku es krim. Aku menjilati es krim itu sambil memijat nenek di depan rumah. Nenek punya banyak nasihat, dia memintaku menghapal dzikir sholat lalu diimingi hadiah bila lancar.

Desember adalah bulan kami. Bulan itulah yang aku tunggu karena bisa bertemu nenek. Kadang dadaku berdegup kencang karena saking tidak sabar bisa berduaan lalu cerita banyak hal ke nenek. Waktu itu nenek baru saja keluar dari rumah sakit. Nenek selalu menelepon, tanya kapan keluarga kami mengunjunginya. Aku sudah berjanji pada nenek, Desember kami akan datang.

Tepat saat pembagian rapor di kelas 9 SMP nenek menelepon ayah. Dia menangis lalu minta agar kami pulang. Ayahku sebagai anak pertama tanpa pikir panjang langsung pulang. Pikirannya sudah tak keruan. Setelah pembagian rapor siangnya kami langsung berangkat ke rumah nenek. Kami tiba di rumah nenek sekitar jam sembilan malam. Di sana sudah ramai dengan keluarga besar. Nenek, kata mereka, masuk rumah sakit lagi.

Malam itu aku memilih tidur karena capek banget setelah perjalanan jauh. Ayah dan keluarga besar menuju rumah sakit. Ayah pulang pagi harinya. Ayah bilang padaku nenek mencariku dan menanyakan kenapa aku tak ikut kerumah sakit. Aku bilang pada ayah kecapaian dan rencananya ingin menjenguk nenek siang harinya. Saat aku sudah mau berangkat ke rumah sakit, adik perempuan ayah mendapat telpon dari paman yang menjaga nenek di rumah sakit.

Tangis adik perempuan ayah meledak. Pikiranku tak keruan tapi aku sudah bisa menebak apa yang terjadi. Tiba-tiba tubuhku menjadi dingin. Fragmen ringkas masa silam bersama nenek bermunculan dalam kepalaku. Aku sangat takut sekali. “Nenek nggak ada,” kata adik ayah dengan terbata-bata.

Dalam hitungan detik rumah nenek penuh tangisan. Aku berlari ke kamar nenek lalu menangis sekencang-kencangnya. Kepalaku berputar-putar ketika mendengar suara sirine ambulance. Aku menyambut kepulangan nenek yang telah tertidur lelap dan tak akan pernah merasakan sakit lagi dengan dada penuh sesak. Aku peluk jasadnya sambil berulang kali minta maaf. Aku menyesal karena malam tadi memilih tidur, tak ikut melihat nenek untuk terakhir kalinya.

Aku mengikuti setiap proses pemakaman nenek sampai ke tempat peristirahatan terakhirnya. Aku ikut memandikan jenazah, menyolatkan, namun bagian mengkafaninya aku tak sanggup lagi. Saat tiba di pemakaman aku kembali menangis sebab teringat kata-kata nenek yang ingin dikubur di samping makam datuk (kakekku) karena dia teramat rindu. Datuk sudah lebih duluan pergi saat ayah dan ibukku hendak menikah, jadi tak heran mengapa aku lebih dekat dengan nenek dan tidak mengenali datuk sama sekali.

Nenek dan datuk kini sudah bersama-sama. Datuk pasti sudah lama menunggu nenek di sana. Doa kami menyertai pertemuan kedua nenek dan datuk. Setelah doa untuk mereka berdua, kami meninggalkan gundukkan tanah yang masih basah dan harum karena taburan bunga bunga mawar yang cantik itu dengan kenangan manis di kepala.



Genre: Nonfiksi

Tema: Keluarga