Tugas Berbahaya Kakek di Tengah Perang Lawan Belanda

Bekti Satiani

old.uniknya.com

Tulisan ini tentang kakek saya. Sosok yang masa mudanya cukup akrab dengan kematian. Saat menulis kisah ini saya sangat sedih dan terharu serta sempat pula air mata berlinang. 

17 Agustus diperingati sebagai hari kemerdekaan negara Indonesia tercinta. Perayaan yang memberi kita pengayaan tentang perjuangan dan pengorbanan para pahlawan bangsa dari Sabang sampai Merauke.Sebagai generasi penerus harusnya kita banyak bersyukur karena merasakan kemerdekaan seperti saat ini.

Selain para tokoh yang terkenal itu, yang namanya wangi di buku-buku sejarah, pahlawan pertama saya adalah sang kakek. Namanya Tawidjan, lahir di Tulungagung Jawa Timur 5 Mei 1927. Inilah kisah sang kakek saya yang menginspirasi dalam segala hal selain dari orang tua saya. 

Saat usia remaja kakek Tawidjan masuk sekolah rakyat di kecamatan Campur Darat 1, Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur. Bertepatan dengan kelulusannya, negara yang baru berusia beberapa tahun itu membuka pendaftaran Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Negara kekurangan pemuda yang mau pikul senjata menghadapi Agresi Militer Belanda II tahun 1948 di pulau Jawa dan Sumatera. 

Agresi militer Belanda dimulai 12 Desember 1948. Kolonial berambisi merebut kembali pulau-pulau jajahan Jepang yang menjadi awal sejarah bangsa Indonesia. Pemerintah bersiasat, agar negara tetap ada, ibukota dipindahkan ke Yogyakarta. Para tokoh bangsa juga mengabarkan pada dunia bahwa nama Indonesia masih ada dan merdeka. Bagi tentara, hanya ada dua pilihan saat itu yaitu merdeka atau mati.

Singkat cerita, kakek menjadi salah satu anggota TKR saat berusia 21 tahun lalu bergabung dengan Batalion Mbliwis Jaya di kabupaten Malang Jawa Timur. Brigjen Molyadi pimpinannya. Ketika itu Belanda sudah menyerang Jawa Timur, pertempuran meledak di banyak tempat. 

Tawidjan ikut berperang di daerah Tulungagung. Dia bertugas sebagai tentara penghubung dari desa ke kota untuk melaporkan pada komandan posisi tentara Belanda sehingga taktik perang gerilya bisa dilakukan. Kakek juga melacak posisi Belanda biar rekan-rekan seperjuangan aman di persembunyian.

Tugas sebagai penghubung itu tidak mudah. Bersama kudanya, kakek sering adu kecepatan dengan motor dan mobil Belanda yang turut melacak markas pejuang. Kakek diberondong peluru saat bertugas mencari informasi. Tangan kanannya terluka tetapi bisa melepaskan diri dari kejaran Belanda. 

Dok: potretlawas

Di tengah perjalanan Tawidjan dicegat pasukan Belanda lainnya. Perang senjata terjadi. Kakek Tawidjan tidak bisa berbuat banyak karena tangannya terluka. Ia melepaskan kuda kesayangannya yang selalu menemani menembus malam lalu berlari menuju pemukiman penduduk untuk meminta pertolongan. 

Luka tembak di tangan kakek tidak dapat sembuh total. Tidak hanya sekali itu kakek terkena tembakan peluru dari tentara Belanda. Demi Indonesia, jangankan peluru, meriam pun bakal disambutnya dengan dada terbuka jika perlu. 

Kakek mendapat tugas lain ketika perang gerilya meletus. Tawidjan menugaskan para kepala desa di bagian Selatan Tulungagung menyiapkan perbekalan dan tempat bersembunyi dari kejaran pasukan Belanda. Akhirnya tahun 1949 berakhir sudah agresi militer Belanda.

Setelah sempat menjadi anggota Tentara Keamanan Rakyat dengan berbagai macam kisah sedih, kakek hidup normal seperti pemuda desa pada umumnya. Kakek menceritakan kisahnya menjadi tentara pejuang saat kami sekeluarga mengunjunginya tahun 2007.

Waktu itu saya masih duduk di kelas VIII SMP. Semua cucu disuruh datang, berkumpul bersama di ruang keluarga. Kakek yang sudah sepuh duduk di kursi rotan sambil menceritakan perjuangannya mengusir penjajah. Kami, para cucunya duduk di bersila lalu mendengarkan kisahnya dengan khidmat.

“Saiki wes penak. Urip saiki penak ora ono perang-perang meneh mulakno ole sergep sinaune lan sekolahe ben iso dadi wong gede (Sekarang sudah enak. Hidup sekarang enak, tidak ada perang. Makanya kalian rajin belajar, rajin sekolah agar bisa menjadi orang besar),”pesan kakek. 

Jujur, saya sangat menyesal kenapa tidak merekam  cerita kakek. Kenapa juga saya tidak berfoto bersama-sama saat itu sehingga kenangan itu tetap ada di luar ingatan. Yang tetap terkenang di ingatan adalah kalimat ‘merdeka atau mati’ kakek saya. Walau sudah sepuh, kakek saya tetap mengucapkan kalimat itu dengan lantang. Kami tertegun melihat semangatnya masih membara.

Kakek meninggal tahun 2017 di usia 90 tahun. Al-fatihah untukmu kakek, semoga anak cucumu dapat melanjutkan perjuangan dalam bentuk pengabdian yang berbeda.



Genre: Nonfiksi

Tema: Memori