Kisah Anak Guru: Makan Nasi Garam Saat Tanggal Tua

Swadesta Aria Wasesa

Guru
Dok.SMP 1 Tembilahan

Waktu kecil saya hanya punya dua mainan: robot-robotan dan penjepit halaman belakang makalah. Robot dibelikan Papah waktu saya masuk TK. Hampir setiap hari saya main dengan robot di rumah. Kalau baterainya habis, Papah menyuruh saya menjemurnya beberapa jam di luar rumah. Habis dijemur, baterainya bisa dipakai lagi. Baterai baru baru bisa datang ketika awal bulan. Setelah mengambil gaji di sekolahan, Papah dan Mama biasanya membelikan saya baterai baru untuk robot-robotan.

Saat masuk SD, robot-robotan itu masih baik. Tidak ada rusak sama sekali. Tapi saya sudah jarang main pas duduk di kelas 2 SD. Saya seringnya main dingdong (arcade) di Pasar Bauntung Banjarbaru, Kalimantan Selatan (Kalsel) saat pulang sekolah. Pernah juga bolos sekolah gara-gara main dingdong. Tapi anehnya selalu ketahuan sama orang tua dan dimarahin habis-habisan.

Satu mesin dimainkan dengan koin Rp100. Demi main dingdong, saya enggak jajan di sekolah. Sangu saya waktu kelas IV itu cuma Rp500. Menelan ludah saja ketika jam istirahat. Saya punya teman baik di SD yang sering bagi makanannya. Namanya Dhani Aprianoor dan Lakstyo Frilsya Taqua Dhika yang sering belikan saya chiki dan Teh Kotak karena mereka kasihan saya tidak jajan karena uang saku saya simpan buat dingdong.

Saya tidak berani minta uang lebih sama Papah dan Mamah untuk main dingdong. Kata Mamah, jadi guru saat itu sakit hidupnya. Gaji satu bulan cukup buat makan saja. Bahkan kadang kekurangan. Jadi saya tidak berani minta macam-macam sama mereka. Apalagi waktu itu saya punya adik yang baru lahir. Uangnya banyak dibelikan susu Chilmil buat adik saya. Kalau uang persediaan habis, mereka memberi saya bekal saja. Kalau disuruh beli buku pelajaran, saya enggak enak minta dan tidak bilang kalau disuruh beli buku. Demi berhemat, saya sering pinjam buku bekas kakak kelas biar tidak beli.

Orang-orang bilang saya traumatis. Saat ini kehidupan guru PNS sudah sangat baik dibanding tahun 90-an. Ketika jalan ke mall atau toko, sekarang saya sering ditawari Papah dan Mamah pakaian. “Kalau mau, ambil saja,” tawar Papah. Tapi, saya takut sekali karena bayangan masa lalu masih menghantui. Saya selalu menolak karena takut uang Papah dan Mamah habis untuk beli baju saya.

Rasa trauma itu muncul ketika saya kelas 3 SD. Waktu itu saya keranjingan baca tabloid Fantasi di rumah teman. Ada rubrik khusus Game yang diasuh Kak Gun. Isinya menarik: tips dan trik menamatkan game tertentu seperti Sonic, Mortal Kombat, Kura-Kura Ninja dan lain-lain. Ada juga tips buat main dingdong. Selain main dingdong, saya sering main Nintendo dan Sega tempat Lakstyo dan Dhani teman saya itu.

Suatu ketika saya merengek sama Papah dan Mamah minta langganan tabloid Fantasi biar bisa puas membaca rubrik Kak Gun. Selain itu juga biar bisa baca cerita bocoran film Satria Baja Hitam yang saat itu sedang populer. Awalnya tidak diizinkan Papah dan Mamah. Tapi setelah saya ngambek tiga hari, mereka akhirnya menghubungi loper koran biar langganan.

Satria Baja Hitam
Istimewa

Tabloid Fantasi terbit setiap minggu. Waktu itu Om Totok, loper koran datang ke rumah menagih uang bulanan langganan. Waktunya tidak tepat karena akhir bulan. Tapi Mamah dan Papah tetap membayar uang langganan. Saya ingat betul Mamah mengambil uang masak dari dompet yang disembunyikan di rak piring. Saya tanya kok ambil uang dari rak piring, itu kan buat beli sayur. Kata Mamah kasihan Om Totok kalau tidak dibayar dia akan dimarahi sama Bos-nya.

Saat makan malam, lauk di meja hanya dua potong ayam. Sayurnya bayam. Nasinya juga kuning. Kata Mamah, ayam dan sayur itu untuk saya dan adik saya yang waktu itu masih berusia tiga tahun. Saya langsung ambil ayam goreng itu lalu makan. Tapi saya heran Mamah dan Papah hanya makan dengan nasi yang ditaburi garam. Saya tanya ke Papah apakah tidak ada lauk lagi.

“Tidak ada, uangnya kan untuk bayar Fantasi. Gajiannya besok siang, jadi malam ini Papah sama Mamah makan sama beras jatah dan garam. Ayo makan yuk,” jawab Papah.

Habis makan pikiran saya tidak keruan. Saya menangis saat belajar di kamar. Paginya, sebelum berangkat sekolah saya sengaja datang ke pasar ke tempat loper koran Om Totok. Saya bilang berhenti langganan Fantasi. Om Totok ternyata bilang ke Mamah dan saya ditanyain kenapa kok berhenti. Saya jawab biar Mamah dan Papah bisa makan ayam juga. Waktu itu Mamah dan Papah nangis tipis-tipis. Sejak saat itu juga saya tidak berani minta macam-macam lagi ke mereka. Takut mereka menderita.

Saya juga tidak pernah ke dingdong lagi. Kalau lagi bosan main robot, barulah saya mainan penjepit buku itu. Seperti drummer andal, penjepit buku itu saya jadikan stik lalu memukul kaleng biskuit kosong sambil mengikuti beat lagu-lagu dari kaset tape Mamah dan Papah.

Orang tua saya keduanya guru. Papah dan Mamah mengajar di SMA dekat rumah di Jalan Perhutani Mentaos. Kehidupan kami sangat pas-pasan karena gaji guru PNS waktu itu tak seberapa. Tiap awal bulan, guru mendapat beras gratis tapi kualitasnya sangat jelek. Papah bilang namanya ini beras jatah. Beras jelek alias sisa yang diberi ke orang-orang tidak punya. Beras itu yang dimakan mereka dengan garam waktu itu. Saya juga pernah merasakan makan dengan nasi dan garam saja saat gaji Papah dan Mamah habis untuk bayar sekolah waktu saya naik kelas tiga dan juga kebutuhan adik.

Peristiwa itu membuat saya sampai sekarang trauma untuk minta sesuatu ke orang tua. Momen di mana kami duduk berempat, menikmati nasi jatah ditaburi garam agar berasa masih kuat di ingatan saya. Momen Papah dan Mamah mengalah demi anak-anaknya lalu rela makan nasi dan garam tidak bisa hilang. Kata Papah, momen masa lalu itu yang membuat kita menjadi manusia. Tidak lupa siapa diri kita dulu dan selalu bersyukur akan kehidupan bagaimanapun sulitnya, bagaimanapun sakitnya.

Tukang Kebun Nyalanya.com



Genre:

Tema: