Dikira Kesurupan Saat Main Petak Umpet Klasik

Rita Melda

Dok.Keypoo

Saya adalah generasi 90an di mana listrik hanya dihidupkan ketika matahari selesai melakukan tugasnya. Siang hari kami habiskan dengan bermain saja. Salah satu permainannya adalah petak umpet. Jika anak-anak zaman now hanya tutup mata lalu berhitung dari 1-10 sementara yang lain harus cepat bersembunyi, petak umpet ala kami beda, lebih klasik.

Permainan pertama adalah melempar menara dari batok kelapa kering yang telah disusun. Melemparnya sesuai dengan urutan batu yang digunakan melempar batok kelapa). Urutan pelempar adalah batu yang paling jauh jaraknya dari tumpukan menara. Jika batu mengenai menara, maka batu yang berada persis di bawahnya adalah yang jaga. Begitu seterusnya sampai pelempar terakhir.

Nah, tugas penjaga selain mencari adalah menjaga menara tadi agar tidak dihancurkan pemain yang bersembunyi. Bayangkan ketika ada 10 orang anak yang bersembunyi lalu kamu berhasil menemukan sembilan anak tapi satu anak tersisa berhasil menghancurkan menara (dengan tendangan bebas) menjadi porak poranda. Sembilan anak yang sudah ditemukan tadi akan sembunyi kembali lalu kamu harus mencari lagi dari awal. Gila! Saya pernah nangis sesengukan berada di posisi ini. Menara saya dihancurkan terus tanpa belas kasihan.

Ya Allah saya masih ingat betul bagaimana rasanya tapi tidak pernah membuat jera ??

Kali ini saya akan menceritakan pengalaman yang sampai sekarang masih saja membuat tertawa bila mengingatnya. Saat itu umur saya masih sembilan tahun, usia dimana saya hanya memikirkan “habis ini kita main apa”?

Seperti sore biasanya, sebelum mandi di Sungai Ketahun, kami bermain petak umpet. Semua boleh ikut bergabung. Semakin banyak semakin seru dan jantungan. Bayangin Si Abang yang usianya hampir 17 tahun menjadi lawan. Setelah semua selesai melempar batu tibalah giliran melempar menara. Suasana mendadak tegang, persis seperti ujian.

“Praaaaaaakkkkkkkkk!” menara seketika berserakan.

Setelah ditelusuri ternyata yang jaga temanku Yusup sedangkan yang lain berhamburan mencari tempat aman. Ada yang di belakang rumah, samping pagar, atas pohon, dalam drum dan saya sendiri mandapat tempat yang sangat strategis yaitu di atas tumpukan kayu bakar yang tingginya hampir mencapai atap rumah. Karena tinggi, saya jadi kesulitan untuk turun dan memantau keadaan apakah aman atau tidak.

Dari kejauhan saya hanya mendengar suara si yusup “Mel asen!”, “Budi Asen!!”( Asen berarti sudah ditemukan dan tidak berhak menghancurkan menara). Dengan posisi tiduran sesekali saya mendengar suara protes teman yang diketahui persembunyiannya. Entah kenapa sore ini niat saya hanya ingin balas dendam saja. Saya bertekad keluar dari persembunyian saat semua sudah ditemukan. “Yusup kamu akan rasakan sperti apa sakitnya setelah kamu hampir berada di ujung kemenangan tapi dihacurkan oleh sayaaa HAHAHAHA” lalu aku menyeringai.

Permainan masih berlangsung tapi rasa kantuk mulai menyerang, hembusan angin dan teduhnya pohon mangga akhirnya sukses menidurkan saya dengan nyenyak zzzzzzzzzzzzzzzzzzzzz…….

“Rita!! Rita!! Rita!! Ritaaaaaaaaaaaaa!”

“Gdepaaaak..!”

Kepala saya terbentur atap rumah. Sambil mengelus kepala saya mencoba membuka mata. Alangkah terkejutnya saya mendapati hari sudah sangat gelap, saya lihat sekeliling tapi tidak bisa melihat apa-apa. Saya baru ingat kalau berada di atas kayu bakar. Sayup saya bisa mendengar banyak suara yang memanggil. Saya pun lalu mengintip

Ternyata banyak orang di rumah. Mereka mencari saya dengan membawa obor. Dalam keadaan bingung saya masih bisa mendengarkan suara Emak menangis. Situasi itu malah bikin saya jadi takut turun (takut dimarah Bapak). Tiba-tiba dari kejauhan saya melihat ada cahaya mendekat. Saya mencoba untuk tidak bersuara dan bernafas.

“HUACHIMMMM” saya bersin disaat yang tidak tepat.

Seketika si pembawa obor mendekat lalu berteriak sudah menemukan saya. Orang-orang pun ramai berdatangan lalu berkumpul di bawah kayu-kayu tempat persembunyian. Saya bengong lalu tanpa aba-aba saya dibopong ramai-ramai. Saat dibopong barulah sadar ternyata yang mencari saya satu kampung. Sampai di rumah yang tak kalah ramainya saya diturunkan. Seketika Emak nangis lalu memeluk erat saya. “Ya Allah Nak, Ya Allah” sambil terus menangis.

Si bapak yang berbaju serba putih tiba-tiba memberi komando agar memandikan saya sebelum setannya datang lagi. Setan?. Mereka anggap aku kesurupan. Di tengah kerumunan saya dimandikan sama Bapak. Anehnya mereka menonton melihat meski adegan mandi melanggar privasi saya sebagai perempuan.

Setelah mandi saya duduk kemudian berpikir pasti akan diintogerasi. Tenyata tidak, Bapak yang baju putih hanya menyampaikan kepada keluarga dan warga bahwa saya barusan disembunyikan oleh makhluk halus karena bermain saat Magrib. Beliau berpesan untuk tidak lagi membiarkan anak-anak bermain saat Magrib. Akhirnya satu persatu warga pulang setelah melewati peristiwa dramatis tadi. Tinggalah saya yang siap-siap menjalankan hukuman tidak main di luar rumah selama seminggu. Nasiiibbbb.

Ritae Melda
Tenera Bengkulu



Genre:

Tema: