Swadesta Aria Wasesa
Saya terkesima ketika menemukan koleksi novel Agatha Christie di Perpustakaan Tenera. Jarang ada taman baca atau perpustakaan sekolah yang punya koleksi selengkap itu. Buat saya, Agatha Christie penulis paling penting di abad ke-20, selain Pramoedya Ananta Toer tentunya dan Perpustakaan Tenera buat saya mengarsipkannya dengan baik.
Tiap novel Agatha Christie sangat mengasyikkan dibaca. Penggemar novel misteri bakal ketagihan dengan tiap plot yang dia sajikan di tiap novel dengan tokoh utama detektif eksentrik bernama Hercule Poirot. Bagi saya, ada tiga sebab yang bikin novel misteri Agatha Christie lebih mengasyikkan dari pendahulu: Sir Arthur Conan Doyle dengan Sherlock Holmes-nya.
Pertama, Agatha Christie banyak memasang jebakan dan pengalihan lalu dengan lamat menggiring pembaca ke sana sehingga membuat lena kemudian lupa dengan banyak clue yang sudah disusun sejak halaman pertama. Baca “ABC Murders”, di mana Agatha mendorong pembaca percaya bahwa Poirot sedang menginvestigasi pembunuhan berantai. “The Big Four” membuat pembaca percaya Poirot sedang membongkar jaringan teroris dunia yang meneror para pemimpin Eropa lewat rangkaian pembunuhan sebelum sampai ke bab akhir yang mengejutkan sekaligus bikin kesal.
Kedua, penokohan. Tiap tokoh serasa benar-benar hidup. Agatha Christie melengkapi deskripsi fisik tokoh dengan masa lalu dan latar sosial yang membuat mereka tidak sekadar hadir tetapi punya motif kuat melakukan kejahatan. Siapa membunuh siapa dan bagaimana alibi dibangun sedemikian kuatnya lewat para tokoh itu.
Penokohan paling kuat ya jagoan utamanya, si detektif Hercule Poirot. Seorang pensiunan polisi dari Belgia berlogat Prancis yang hidup di Inggris sebelum Perang Dunia II. Tingginya tidak lebih dari lima kaki empat inci, tetapi sangat berwibawa. Kepala Hercule Poirot seperti telur yang cenderung miring ke satu sisi. Ia representasi gaya kaum aristorkrat masa itu: necis, berpakaian rapi mengenakan setelan jas dilengkapi dasi kupu-kupu dengan rantai emas arloji tergantung pada saku bagian bawah jasnya.
Ia digambarkan sebagai sosok yang terobsesi terhadap kesempurnaan dan Gelisah terhadap objek yang tak presisi. Poirot, akan merasa lebih sakit bila ada setitik debu menempel di baju ketimbang sebutir peluru bersarang di tubuhnya. Poirot congkak, skeptis, dan tidak percaya hal-hal gaib (namun pandangan dan sifatnya melunak sejak “Murder of Orient Express”).
Poirot tidak suka kekerasan. Ia lebih takut menonton film laga ketimbang horor. Pembaca tidak akan menemukan ketangkasan fisik Poirot ketika memecahkan kasus. Tidak ada heroisme macam sepak terjang Sherlock Holmes di “A Study in Scarlet”, “The Hound of The Baskervilles”, atau “The Valley of Fear”. Poirot memecahkan kasus di meja kerja apartemennya. Menganalisis psikologis tiap tokoh atau tersangka, menyatukan alibi dan fakta, kemudian menarik kesimpulan.
Cara kerja Poirot ia tempelkan pula pada tokoh Jane Marple, seorang perempuan desa yang banyak memecahkan kasus pembunuhan sambil menyulam syal di rumah kecilnya. Agatha Christie juga memberi latar belakang sosial dan psikologis yang menarik untuk Jane. Kapan-kapan kita bahas Jane Marple yak.
Ketiga, Agatha Christie punya banyak elemen kejutan. Dia tidak pernah mengulang metode pembunuhan dan profesi pembunuh yang sama. Bisa saja yang menjadi pembunuh adalah tokoh laki laki atau perempuan, kelompok, anak-anak, bahkan sang penutur cerita. Jadi, tunggu apa lagi. Segera ke Perpustakaan Tenera lalu berkenalan dengan Hercule Poirot.
Genre: Nonfiksi
Tema: Review